POTENSI
BAHASA, SASTRA DAN AKSARA
Cerita Rakyat Yang Berkembang Dalam Kehidupan Masyarakat
Ratu Malang
Di Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat sebuah bukit kecil. Warga sekitar menyebut bukit itu dengan nama Gunung Kelir. Di atas Gunung Kelir terdapat sebuah kompleks pemakaman dengan 28 nisan. Salah satu nisan di sana merupakan makam seorang ratu yang sangat disegani di Kerajaan Mataram Islam. Dia bernama Ratu Mas Malang.
Melansir dari Kemendikbud.go.id, Ratu Mas Malang merupakan istri dari Amangkurat I. Sebelumnya dia adalah istri dari Dalang Panjang Mas, seorang dalang yang hidup sejak masa Panembahan Sedo Krapyak. Walau sudah bersuami, Amangkurat I terpikat dengan kecantikan Ratu Mas Malang dan meminta sang dalang untuk menyerahkan istrinya padanya.
Permintaan itu ditolak oleh Dalang Panjang Mas. Karena menolak permintaan raja, dia dibunuh dan jasadnya dimakamkan di Gunung Kelir. Dari sinilah kisah cinta Amangkurat I dengan Ratu Mas Malang dimulai:
Melansir dari kanal Historia.id, pertemuan pertama antara Amangkurat I dengan Ratu Malang terjadi saat ang raja mengeluarkan titah mencari perempuan untuk diperistri. Amangkurat I kemudian diperkenalkan dengan putri Ki Wayah, seorang dalang terkemuka.
Karena parasnya yang cantik, hati raja langsung terpikat. Ia pun langsung menyiapkan segala keperluan untuk mempersunting perempuan itu. Namun sayang saat keperluan disiapkan, terungkaplah kalau perempuan itu sudah menikah dengan Ki Dalang Panjang Mas yang juga berprofesi sebagai seorang dalang.
Namun hal itu tidak menghalangi Amangkurat I merebut Ratu Malang dan membawanya ke istana. Demi menghindari masalah yang tidak diinginkan, ia mengeluarkan perintah untuk membunuh Ki Dalang Panjang Mas.
Sejak menjadi istri Amangkurat I, Ratu Malang mendapat gelar “Ratu Wetan”. Namun ratu baru ini disebut-sebut merusak rumah tangga kerajaan. Dalam buku “Runtuhnya Istana Mataram”, peneliti De Graaf menuliskan perhatiannya lebih banyak teralihkan ke Ratu Malang.
Namun begitu mengetahui suaminya yang dulu, Ki Dalang Panjang Mas dibunuh oleh Amangkurat, Ratu Malang menangis siang malam. Ia pun jatuh sakit dan meninggal tak lama kemudian. Namun Amangkurat melihat ada kejanggalan dalam kematian itu karena sebelum kematiannya, Ratu Malang mengeluarkan banyak cairan dalam tubuhnya seperti gejala keracunan.
Karena peristiwa ini, Amangkurat I yang marah menyeret dayang-dayang dan pelayan istana. Bahkan ia tega mengurung istri-istrinya yang lain tanpa makan di dalam kamar sampai mereka mati semua.
Duka Mendalam Sang Raja
Jenazah Ratu Malang dibawa ke Gunung Kelir untuk dimakamkan. Dalam bukunya, De Graaf menyebut kalau selama beberapa hari makam itu tidak ditutup. Setiap siang dan malam sambil membawa putranya, dia meratapi tubuh perempuan yang telah terbujur kaku itu.
Kepergian sang raja menimbulkan kekacauan di keraton. Para keluarga dan pejabat kerajaan terus membujuknya agar pulang.
Namun pada suatu malam ia bermimpi bahwa Ratu Malang telah menemani suami lamanya, Ki Dalang Panjang Mas. Setelah terbangun, dilihatnya jenazah Ratu Malang sudah tidak berbentuk manusia lagi. ia pun kembali ke keraton dengan marah dan memerintahkan untuk menutup liang lahat itu.
Melansir dari Historia.id, kematian Ratu Malang menjadi pukulan yang amat berat bagi Amangkurat I. Bahkan dalam laporan pejabat Belanda, sang raja sampai tidak bisa menjalankan pemerintahannya dengan baik selama 4-5 tahun setelahnya.
Ki Dalang Panjang Mas
Makam Ki Dalang Panjang Mas berada di dalam kompleks makam Antakapura atau makam Ratu Malang. Kompleks makam terletak di puncak sebuah bukit yaitu bukit Gunung Kelir. Pada kompleks makam terdapat 28 buah nisan, terkelompok dalam 3 lokasi, yaitu 19 nisan ada di halaman depan, 8 nisan berada di halaman inti (tengah), dan 1 nisan ada di halaman belakang. Salah satu nisan di halaman inti adalah nisan Ratu Mas Malang, permaisuri Amangkurat I. Satu nisan yang ada di halaman belakang atau halaman sisi utara adalah nisan Ki Dalang Panjang Mas. Nisan-nisan yang lainnya kemungkinan besar merupakan kuburan para pengrawit atau penabuh gamelan dan pesinden, yang semuanya anggota rombongan Ki Dalang Panjang Mas yang ikut terbunuh.
Posisi makam Ki Dalang Panjang Mas berada di sudut barat laut dari kompleks makam. Makam Ki Dalang Panjang Mas terpisah dengan kelompok makam lainnya dan berupa tumpukan batu putih yang diplester, tetapi plesterannya telah mengelupas. Makam tersebut berada di bawah pohon Bulu
Sumur Gemuling
Keraton Plered mengalami kehancuran pada tahun 1600 J (1677) M ketika Trunojoyo, seorang bangsawan Madura Barat menyerang Keraton Plered dan berhasil mendudukinya. Sunan Amangkurat I melarikan diri ke Imogiri kemudian ke arah barat dan wafat dalam pelarian. Pengganti Amangkurat I yang bergelar Amangkurat II menduduki kembali keraton tersebut dengan bantuan VOC. Setelah Keraton Plered ditinggalkan oleh Sunan Amangkurat II, salah satu bagian dari keraton yakni Sumur Gumuling Plered ditemukan kembali dalam keadaan rusak. Kerusakan sumur semakin parah dengan terjadinya gempa pada tahun 2006. Pada tahun 2009 Sumur Gumuling Plered direnovasi hingga keadaannya yang sekarang. Sumur dikelilingi oleh tembok dengan teralis logam dan dapat dicapai dengan undakan tangga semen.
Diameter sumur 0,8 m, tebal bibir sumur 0,11 m, dan. kedalamannya 2,7 meter. Saat ini telah dikelilingi tembok pagar dari semen yang di atasnya diberi teralis pagar dari logam. Tembok pagar dan permukaan Sumur Gumuling dicat dengan warna merah muda.
Kyai Kategan
KYAI KATEGAN = AHMAD KATEGAN = SAYYID AHMAD BIN 'ALI BIN MUHAMMAD
Salah seorang waliyullah yang hidup di zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo yang tinggal di Pleret, Bantul adalah As-Sayyid Ahmad bin 'Ali bin Muhammad (1622-1645).
Beliau lebih terkenal dengan sebutan KYAI AHMAD KATEGAN atau KYAI KATEGAN.
Beliau seorang Penghulu Kerajaan Mataram Kerta yang berpusat di Pedukuhan Kerto, Pleret, Pleret, Bantul.
Makam Beliau ada di komplek Makam Kanggotan Kidul, sebelah barat Komplek Masjid Taqorrub Kanggotan Kidul, di nisannya terdapat tulisan huruf arab berbunyi "KIYAHI KATEGAN".
Menurut cerita masyarakat sekitar yang penulis dengar, Kyai Kategan seorang pekathik (tukang cari rumput) untuk kuda Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Beliau orang yang sakti, bahkan lebih sakti dari Rajanya, jika sholat jum'ah beliau dan Sultan Agung Hanyokrokusumo melaksanakannya di Makkah Al-Mukarromah.
Alkisah suatu pagi hari jum'ah Sultan Agung Hanyokrokusumo menghampiri Beliau untuk berangkat sholat jum'ah di Makkah, karena masih ada pekerjaan yang belum selesai Beliau mempersilahkan sang Sultan untuk berangkat lebih dulu, maka Sultan pun berangkat lebih dulu, namun alangkah terkejutnya Sang Sultan ketika tiba di Makkah ternyata Kyai Kategan telah lebih dulu sampai di Makkah.
Di komplek makam tersebut juga terdapat makam 'ulama' besar yang hidup di tahun 1800an masehi, pendiri pesantren tertua se-Yogyakarta, yaitu KH. Abdullah bin Ahmad 'Arif guru dari KH. Muhammad Munawwir Krapyak Yogyakarta.
Wa Allahu A'lam
Penulis:
محمد سالم نور أحمد
Dalam kutipan lain dengan penulis Yaser Muhammad Arafat – Budayawan, Dosen UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, Penulis dan Penggiat Masjid Jenderal Sudirman yang di muat dalam situs laduni.id
Ada beberapa keterangan yang sebagai berikut:
Naskah-naskah Jawa menyebut namanya: Amat Kategan. Jabatannya adalah penghulu Kraton pada masa Sinuwun Sultan Agung Hanyakrakusuma. Kira-kira secuil-mirip dengan menteri agama pada hari ini.
Nama sang penghulu negeri Mataram ini tercantum di dalam beberapa naskah-naskah. Mulai Serat Centhini, Kitab Primbon Betaljemur Atassadhur Adamakna, Babad Sultan Agung, dan masih banyak lagi.
Peninggalan berharga Mbah Kategan adalah kitab anggitannya; Suluk Makripatolah. Sebuah karya atau naskah yang disebut “suluk” berarti karya itu merupakan cerita nyata perihal perjalanan batin (suluk) sang penganggit. Kira-kira seperti Kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah, yang tiada lain merupakan rekaman perjalanan batin sang guru ketiga dalam bangunan Tarekat Syadziliyah itu.
Nama Kyai Kategan juga masih hidup dalam cerita tutur masyarakat Yogyakarta. Terutama para sesepuh. Saya pernah menyowani Mbah Jamhari, seorang sepuh berusia lebih 90 tahun yang berumah di Manisrenggo, Klaten.
Cerita Rakyat Watu Gajah
Dusun Gunungan adalah salah satu dusun di kalurahan Pleret dari 11 dusun yang ada di sekelilingnya. Berada ditimur laut dengan kalurahan pleret ini dan merupakan dusun peninggalan dari Kraton Mataram Pleret pada masa Sultan Amangkurat 1. Dusun Gunungan sendiri mempunyai latar belakang dari sejarah Amangkurat 1.
Konon menurut cerita dari para sesepuh dusun, Dusun Gunungan ini dulunya adalah salah satu tempat pembuangan Gunungan gunungan kraton layaknya Grebekan seperti yang di lakukan kraton Yogyakarta baik itu setiap muludan atau biasa di sebut Grebek Mulud kalo atau grebek syawal kalo orang yogyakarta sering menyebut. Dimana pada acara acara seperti itu selalu dilakukan dengan arak-arakan prajurit bergodo maupun gunungan yang di panggul oleh beberapa orang prajurit serta terdiri dari berbagai macem gunungn dan berbagai jenis makanan yang kemudian di perebutkan kepada seluruh warga masyarakat atau kawulo di wilayah kekuasaannya. Dari bekas-bekas gunungan itulah kemudian di buang ke satu wilayah yang jadi tempat pembuangan bekas gunungan yang sudah tidak terpakai. Maka kemudian tempat itu dinamakan Dusun Gunungan.
Menurut cerita warga sekitar di Dusun gunungan ini terdapat sebuah Batu dengan ukiran seperti kepala gajah dengan ukuran sebesar pelukan orang dewasa yang berada di tengah dusun tersebut yang di anggap keramat oleh warga sekitar. Konon dahulu pernah ada seorang petani yang menggunakan gerobak yang sedang mengusung hasil panenannya kebetulan menyenggol bagian kuping dan belalainya sehingga rusak. Anehnya tiba tiba saja sopir gerobak itu langsung pingsan dan meninggal ditempat itu juga. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat mengangaggap keramat akan adanya batu yang berbentuk kepala gajah itu.
Sebuah peristiwa mistis terjadi, yaitu ketika masyarakat sekitar akan melakukan pelebaran jalan, kemudian mereka hendak memindahkan batu itu kesuatu tempat, tiba tiba ada salah satu warga yang kesurupan bertingkah meraung raung layaknya seekor gajah besar sedang mengamuk, maka kemudian batu itu diminta oleh sesepuh dusun untuk mengembalikan ke tempat semula. Setelah itu, warga yang kesurupan tadi bisa sadar kembali. Namun kejadian yang lebih mengherankan terjadi lagi, yaitu ketika batu yang saat mau dipindahkan itu bisa di angkat oleh 2 orang saja, namun setelah dikembalikan ketempat semula dan mau digeser mundur oleh puluhan warga, batu itu tetap tidak bisa digeser
Oleh sebab itulah kemudian batu yang berukir kepala gajah tersebut sekarang tetap berada di tempatnya semula, di samping jalan berdampingan dengan Gardu ronda Warga dan tidak akan di pindahkan lagi serta dirawat oleh warga setempat karena dianggap keramat.
Menurut cerita dari para sesepuh dusun, batu ukiran gajah itu adalah gajah kraton pleret yang digunakan untuk mengangkut bekas-bekas gunungan yang akan di buang setelah selesai acara perayaan keraton. Namun pada saat membuang bekas gunungan di tempat itu, gajah tiba-tiba meninggal lalu dikuburkan di tempat itu juga. Pada akhirnya batu ukiran gajah itu adalah sebagai tetenger kelangenan dari kraton Mataram Pleret
Bedhahing Segarayasa
Salah satu jejak bendungan Segarayasa yang tersisa adalah tambak tugel. Diyakini masyarakat, tembak tersebut tugel (patah) atau jebol karena ulah bala prajurit Ratu Kidul. Dikisahkan Ratu Kidul marah karena pasokan air dari sungai opak berkurang. Lantas, sang Ratu memerintahkan untuk menyusuri letak dibendungnya sungai opak. Maka, ditemukanlah tambak yang membentang di kawasan yang kini dinamakan Karet dan Dahromo. Lantas, dibongkarlah tanggul itu oleh para prajurit Ratu Kidul. Dinamakanlah tempat jebolnya tambak itu dengan nama tambak tugel. Sedangkan dusun yang ada disebelahnya yakni Dahromo merupakan akronim dari bedhahing rawa atau jebolnya rawa.
Roro Inten
Asal usul dari makam Roro Inten yang berada di Kedaton Pleret bahwa Saparinten adalah putri Pakubuwono 2. Pada saat itu Pakubuwono 2 dekat dengan penjajah Belanda. Rencananya Saparinten akan dinikahkan dengan orang Belanda. Saparinten diberi tahu orangtuanya dan menolak dan tidak mau menikah, kemudian melarikan diri sampai Manado dan tinggal disana sampai akhir hayat. Keluarga Saparinten berusaha mencari keluarga Saparinten yang berada di Manado. Setelah dilacak dan ketemu makam di manado, kemudian direncanakan dipindah makamnya ke Jakarta. Setelah tanah makam Saparinten diambil, dan dibuatkan tempat semacam peti kecil dan dibawa ke Jakarta. Kemudian terjadi kebakaran di tempat rumah penyimpanan peti tanah makam tersebut dan menyisakan peti penyimpan tanah sarinten nya saja. Kemudian keluarga mencari "orangtua" (den Pawiro), kemudian atas saran dari Den Pawiro Sarinten agar dimakamkan di Pleret. Dan Akhirnya Sarinten dimakamkan di kedaton Pleret.
Tempuran
Tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong - Tempuran ini banyak sekali mengandung rahasia yang sampai saat ini masih banyak yang meyakini, terutama bagi warga masyarakat setempat. Sejak jaman kejayaan keraton Mataram Kerto yang dipimpin oleh Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo, nama tempuran sungai opak gajah wong ini sudah terkenal bahkan sampai ke luar wilayah pemerintahan keraton Mataram Kerto.
Suatu Ketika Kanjeng Sultan Agung memerintahkan seseorang untuk mencari sumber air suci untuk dibuat sebuah sumur. Titah Kanjeng Sultan Agung pun segera dilaksanakan oleh orang tersebut. Di dalam melasanakan tugas agung untuk mencari sumber air suci tersebut, orang itu ditemani oleh beberapa kerabatnya baik pria maupun wanita. Namun, tugas itu menemui banyak sekali rintangan diantaranya harus menyeberangi dua sungai yang bertemu yang bisa disebut tempuran.
Aliran sungai tempuran memang tidak terlalu deras dan juga tidak dalam. Tetapi bagi kaum Wanita memang bisa membasahi pakaian yang menutupi kali bagian bawah. Oleh karena itu maka para Wanita selalu mengangkat kainnya setinggi betis agar tidak basah dan kotor. Melihat fenomena seperti itu, banyaklah kaum pemuda yang melirik terhadap Wanita yang sedang menyeberangi sungai tersebut. Maka tidaklah heran apabila kemudian terjadi saling ejek mengejek diantara mereka. Di awali dengan saling ejek itulah maka akhirnya mereka saling mendekat dan akrab yang akhirnya tumbuhlah benih- benih cinta di antara mereka. Sampai pada akhirnya sumber air yang mereke cari sudah diketemukan di lereng gunung Permoni yang letaknya di sebelah selatan tempuran, tanpa rasa Lelah bagi mereka karena adanya benih-benih cinta terebut.
Sejak saat itulah apa bila ada pemuda maupun pemudi yang ingin segera mendapatkan jodoh, mereka berkunjung ke tempuran untuk mandi dan menyampaikan do’a agar jodohnya didekatkan. Bahkan sampai saat inipun para pemuda yang belum berumah tangga ada juga yang menjalankan ritual seperti di atas agar do;a-do’anya dikabulkan, dan segera mendapatkan jodohnya.
Itulah mitos tempuran kali opak-gajah wong yang sampai saat ini masih diyakini oleh sebagian warga masyarakat Pleret. Percaya Gak Percaya.
Toponim Nama Dusun
Penamaan nama administratif padukuhan di Pleret diwariskan secara temurun berdasarkan jejak sejarah yang pernah ada pada era Mataram Islam Kerta maupun Pleret. Diantarany
a. Keputren, berasal dari kata dasar putri. Tempat ini merujuk pada nama tempat beristirahat para putri
b. Kedhaton, merujuk pada salah satu bagian inti keraton yaitu tempat berdiamnya raja yang bertahta
c. Pungkuran, merujuk pada salah satu bagian keraton yaitu halaman belakang keraton
d. Kauman, merujuk pada salah satu komponen kerajaan, yakni keberadaan para pemuka agama yang dalam bahasa jawa disebut kaum
e. Trayeman, merujuk pada tokoh yang dimakamkan di lokasi ini yakni Kyai Trayeman
f. Tambalan, Diyakini pada era dibangunnya Segarayasa, tempat ini merupakan area ditambalnya bendungan yang jebol dibagian yang dinamakan Tambalan saat ini. Penamaan lain yang merujuk pada lokasi ini adalah Buk Semangu, artinya ragu ragu
g. Gerjen, merujuk pada salah satu bagian pendukung kraton yakni profesi gerji atau tukang jahit.
h. Bedukan, merujuk pada tokoh yang dimakankan di lokasi ini yakni Kyai Diduk
i. Kanggotan, diusut dari penamaannya banyak yang menafsirkan Kanggotan merupakan akronim dari kanggone ning wetan. Artinya, yang digunakan sebelah timur. Hal ini merujuk pada lokasi Kanggotan yang berada di dekat Keraton Kerto. Setelah itu ibukota dipindah kearah timur, yakni Pleret. Versi lain mengatakan Kanggotan merujuk pada nama dimakamkannya salah satu ulama besar Mataram Islam yakni Kyai Kategan