POTENSI
ADAT DAN TRADISI
Ragam/jenis upacara adat
Merti Dusun
Padukuhan di Kalurahan Pleret mengadakan Merti Dusun atau bersih Dusun Setiap tahun. Merti Dusun adalah salah satu tradisi adat yang berasal dari budaya Jawa, khususnya dalam konteks kehidupan pedesaan. Tradisi ini dapat ditemukan dalam beberapa daerah di Jawa, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Merti Dusun adalah upacara atau ritual yang bertujuan untuk merayakan dan menghormati roh atau dewa-dewi penjaga dusun atau desa, serta untuk memohon berkah, keselamatan, dan keberkahan bagi masyarakat yang tinggal di dusun tersebut.
Beberapa elemen yang umumnya terkait dengan tradisi Merti Dusun meliputi:
Upacara Sembahyang: Tradisi Merti Dusun umumnya melibatkan upacara sembahyang atau doa bersama sebagai bentuk penghormatan kepada roh atau dewa-dewi yang dianggap melindungi dusun atau desa.
Persembahan: Masyarakat biasanya menyajikan persembahan berupa bunga, buah-buahan, makanan, dan benda-benda lain yang dianggap berharga kepada roh atau dewa-dewi sebagai tanda penghormatan dan pengakuan.
Tarian dan Musik: Upacara Merti Dusun sering kali dimeriahkan dengan tarian tradisional dan musik seperti gamelan sebagai bentuk ekspresi seni dan budaya dalam merayakan acara ini.
Ritual Pembersihan: Sebelum pelaksanaan upacara, masyarakat bisa saja melakukan ritual pembersihan tempat suci atau area tempat upacara akan dilakukan.
Pertemuan Masyarakat: Upacara Merti Dusun juga menjadi kesempatan bagi seluruh anggota masyarakat dusun untuk berkumpul, berinteraksi, dan merayakan bersama.
Pemanggilan Roh atau Dewa: Dalam beberapa tradisi, pemanggilan roh atau dewa bisa menjadi bagian penting dari upacara Merti Dusun. Ini bisa dilakukan melalui doa-doa atau tindakan khusus yang dianggap dapat memanggil dan mengundang kehadiran mereka.
Tradisi Merti Dusun menggambarkan pentingnya keterhubungan antara masyarakat dengan alam, roh, dan kehidupan spiritual dalam budaya Jawa. Meskipun tradisi ini mungkin memiliki varian dan variasi tertentu di berbagai wilayah, prinsip utama penghormatan kepada roh penjaga dan dewa-dewi pelindung tetap menjadi inti dari tradisi ini.
Kirab Apem
Pemerintah Kalurahan Pleret mengadakan Kirab Apem dalam rangka Grebeg Ruwah dan Hari Jadi Kalurahan Pleret pada Ahad (19/03) bertempat di Balai Kalurahan Pleret sebagai puncak acara tradisi sadranan di 11 padukuhan se-kalurahan pleret.
Tradisi sadranan merupakan suatu tradisi untuk membersihkan makam leluhur dan ziarah kubur dengan prosesi penyampaian doa kepada leluhur yang sudah mendahului dan kenduri. Dilaksanakan warga setempat berujud aneka makanan dalam tenong dan nasi tumpeng menjadi tradisi rutin dilaksanakan setiap tahun pada pertengahan Bulan Ruwah (penanggalan Jawa) atau menjelang datangnya bulan Ramadhan atau yang sering dikenal dengan tradisi Nyadran atau sadranan yang masih terjaga dan terus berlangsung hingga sekarang di wilayah Kalurahan Pleret.
Bagi masyarakat Kalurahan Pleret, tradisi ini memiliki kedudukan yang penting layaknya lebaran, warga perantauan menyempatkan pulang kampung ketika tradisi ini digelar untuk melakukan tradisi Nyadran. Tradisi ini diawali pada pagi hari dengan berziarah kubur ke makam leluhur dan sebagian padukuhan masih ada yang membawa tenong (penyimpan makanan) dari anyaman bambu. Seusai berdoa, dilanjutkan makan bersama, dan setiap orang dipersilakan untuk mengambil makanan yang tersedia di tenong. Setelahnya, warga bersama-sama melakukan doa di masjid padukuhan masing-masing, dan kadang diisi dengan pengajian umum oleh kyai/ustadz dengan materi tentang birul walidain.
“Acara Nyadran ditiap padukuhan sudah ada sejak zaman dulu, dan perlu dilestarikan sebagai kekayaan budaya di wilayah kalurahan pleret, sehingga perlu dibuatkan suatu even kegiatan bersama sebagai puncak acara nyadran yang diadakan rutin setiap hari ahad terakhir di bulan ruwah menjelang ramadhan,” ungkap Lurah Pleret, Taufiq Kamal, S.Kom., M.Cs., saat ditemui dikantornya, pada Senin (20/3). Diterangkan, mulai tahun ini Pemerintah Kalurahan Pleret menyatukan tradisi sadranan dengan membuat acara Kirab Gunungan Apem bersamaan dengan peringatan Hari Jadi Kalurahan Pleret ke-75, yang diikuti oleh 22 RW di 11 pasukan se-Kalurahan Pleret dengan nama Grebeg Ruwah. Acara akan diawali dengan arak-arakan Penunggang Kuda yang dinaiki oleh Lurah, Ketua Bamuskal, Kapolsek, Danramil dan Tokoh Agama sebanyak 5 Kuda, 3 andong yang dinaiki oleh pejabat kapanewon dan mantan pamong kalurahan yang sudah purna, serta diikuti oleh rombongan pasukan bregodo kirab inti dari pamong/lembaga desa, serta 22 bregodo dan gunungan apem dari warga masyarakat Kalurahan Pleret.
Sedangkan ketua panitia juga selaku Kamituwa Kalurahan Pleret Bapak Anang Jatmiko menerangkan bahwa Gunungan apem yang berjumlah 22 buah dikirabkan dan pada puncak acara akan diperebutkan oleh warga masyarakat yang hadir menonton acara kirab. dengan gunungan hasil bumi dan makanan khas Apem, serta utamanya doa bersama Kalurahan Pleret senantiasa menjadi daerah yang makmur, adil dan sejahtera,” ungkapnya.
Sementara itu Evie Nur Siti Fatonah, S.Sos.M.M. Panewu Kapanewon Pleret, sesaat setelah turun dari andong pada tim media yang meliput mengatakan bahwa, walaupun kegiatan kirab grebeg ruwah tersebut baru pertama kali diadakan di kalurahan Pleret, namun antusiasme dan penerimaan masyarakat cukup bagus serta yang sangat membanggakan dimana masyarakat secara swadaya dalam pengadaan uborampe pendukung kesenian dan juga makanan berupa gunungan yang ikut dikirabkan.
“Kegiatan kirab ini mengingatkan kita pada sejarah kejayaan Mataram. Dan selanjutnya saya ucapkan terima kasih atas kerjasama antara pemerintah Kalurahan Pleret dengan kampus AKN Seni dan Budaya Yogyakarta, dimana para mahasiswanya menampilkan kesenian karawitan dan tari-tarian klasik gaya Yogyakarta yang sangat bagus dan luwes”, ujar Evie.
Selama ini tradisi sadranan berlangsung di 11 Padukuhan se-Kalurahan Pleret sesuai dengan waktu yang disepakati masyarakat di masing-masing dusun atau desa. Sadranan tidak hanya dihadiri oleh warga setempat, tetapi juga warga kalurahan sekitar bahkan warga dari luar kabupaten hadir untuk Nyadran di Pleret.
Wiwitan
Setiap tahun Mbulak Wilkel melaksanakan Tradisi Wiwitan, Tradisi Wiwitan adalah tradisi atau upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama yang berada di daerah pedesaan, untuk merayakan atau memohon berkah dari dewa-dewi pertanian sebelum panen dilakukan. Tradisi ini memiliki tujuan untuk memohon keberkahan, kesuburan, dan hasil panen yang melimpah dari para dewa yang dianggap sebagai pelindung pertanian. Tradisi Wiwitan menjelang panen padi ini mencerminkan kedalaman spiritualitas dan keterhubungan masyarakat dengan alam serta lingkungannya. Meskipun tradisi ini lebih sering dijumpai di wilayah Jawa, namun setiap daerah memiliki varian dan variasi sendiri dalam pelaksanaan tradisi ini. Tradisi ini juga telah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu, namun tetap menjadi bagian penting dari budaya dan warisan lokal di Indonesia.
Nyadran
Hampir di seluruh dusun di Kalurahan Pleret masih menyelenggarakan upacara nyadran. Salah satu potret upacara tersebut di Dusun Tambalan.
Tradisi "Sadranan" merupakan bagian dari budaya Jawa, khususnya masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur di Indonesia. Tradisi ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari persiapan menjelang perayaan Idul Fitri, yang merupakan hari raya besar umat Islam setelah sebulan berpuasa pada bulan Ramadan.
Sadranan adalah ritual atau tradisi pembersihan diri yang melibatkan berbagai jenis tumbuhan, seperti daun, bunga, dan ramuan tradisional. Tradisi ini memiliki tujuan untuk membersihkan diri secara fisik dan spiritual, menghilangkan energi negatif, serta mempersiapkan diri menjelang Idul Fitri dengan hati yang suci dan murni.
Proses sadranan umumnya dilakukan bersama-sama oleh anggota masyarakat setempat, terutama oleh wanita. Para peserta tradisi biasanya berkumpul di suatu tempat terbuka, seperti sungai atau lahan kosong, dan melakukan ritual pembersihan diri dengan menggunakan tumbuhan-tumbuhan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Mereka akan mencuci diri, menggosok tubuh dengan daun-daunan tertentu, dan menggunakan ramuan tradisional untuk membersihkan kulit.
Selain aspek pembersihan diri, tradisi Sadranan juga memiliki nilai sosial dan budaya yang penting. Ini adalah kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga, tetangga, dan teman-teman, serta menjalin kebersamaan dalam proses persiapan merayakan Idul Fitri. Tradisi ini juga dapat menjadi peluang untuk mengenang dan memperkuat nilai-nilai budaya dan tradisi leluhur.
Namun, perlu dicatat bahwa praktik dan detail tradisi Sadranan dapat bervariasi di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setiap komunitas bisa memiliki variasi dalam tumbuhan yang digunakan, cara pelaksanaan, dan makna yang terkait dengan tradisi ini.
Muludan
Muludan menjadi acara peringatan kelahiran Nabi dengan membawa makanan untuk didoakan bersama di masjid.
Maulid atau mauludan adalah perayaan yang merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ini adalah tradisi yang banyak dilakukan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Tradisi maulidan ini memiliki variasi dalam pelaksanaannya tergantung pada budaya, lokasi geografis, dan keyakinan masing-masing komunitas Muslim.
Beberapa ciri umum dari tradisi maulidan termasuk:
Membaca Sirah Nabawiyyah: Pada acara maulidan, biasanya dibacakan kisah hidup (sirah) Nabi Muhammad SAW. Hal ini dilakukan untuk mengenang perjuangan dan ajaran-ajarannya.
Pawai dan Parade: Di beberapa tempat, terutama di negara-negara dengan mayoritas Muslim, ada pawai atau parade khusus dalam rangka merayakan maulid. Orang-orang berpakaian meriah, membawa spanduk, dan menyanyikan lagu-lagu yang memuji Nabi Muhammad SAW.
Makanan dan Makan Bersama: Pada acara maulid, sering kali diadakan makanan bersama yang disebut "kanduri" atau "selamatan". Masyarakat berbagi makanan dengan orang lain, termasuk yang membutuhkan.
Ceramah dan Pengajian: Dalam tradisi maulidan, sering kali diadakan ceramah dan pengajian agama yang berfokus pada kehidupan dan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Penampilan Seni: Beberapa tempat memiliki tradisi mengadakan pertunjukan seni, seperti tari, nyanyian, dan drama, yang berkaitan dengan kisah-kisah dalam hidup Nabi Muhammad SAW.
Doa dan Dzikir: Tradisi ini seringkali juga melibatkan doa dan dzikir yang ditujukan untuk mengingat dan memuji Nabi Muhammad SAW serta mendekatkan diri kepada Allah.
Amal Kebaikan: Sebagai bagian dari peringatan maulid, orang seringkali didorong untuk melakukan amal kebaikan, seperti memberikan sumbangan kepada yang membutuhkan atau berbuat baik kepada sesama.
Meskipun tradisi maulidan memiliki nilai keagamaan dan budaya yang kuat bagi banyak umat Islam, ada variasi pandangan dalam hal ini. Beberapa ulama dan cendekiawan Islam mendukung perayaan maulid sebagai cara untuk memperkuat iman dan pengetahuan umat, sementara yang lain menganggapnya sebagai bid'ah (inovasi agama) karena tidak ada catatan langsung dari Nabi Muhammad SAW tentang perayaan ulang tahunnya. Pendekatan terhadap maulidan dapat bervariasi di berbagai komunitas dan mazhab di seluruh dunia.
Kirab Mustaka
Kirab mustaka atau kirab kubah adalah salah satu tradisi kirab yang ditemui dalam masyarakat Muslim di Jawa. Kirab ini dilakukan dengan mengarak mustaka/kubah masjid keliling desa sebelum dipasang. Kirab biasanya dilengkapi dengan sambutan, pidato, makan-makan dan hiburan musik hadrah atau drumben. Acara ini dilangsungkan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada masyarakat yang telah menyumbang untuk pembangunan masjid
Kirab mustaka pernah terselenggara di Pleret dalam pembangunan kembali Masjid Al Maab Bedukan dan Musholla di Taman Senjata Ngelo.