POTENSI

ADAT DAN TRADISI

Ragam/jenis upacara adat

Merti Dusun

Padukuhan di Kalurahan Pleret mengadakan Merti Dusun atau bersih Dusun Setiap tahun. Merti Dusun adalah salah satu tradisi adat yang berasal dari budaya Jawa, khususnya dalam konteks kehidupan pedesaan. Tradisi ini dapat ditemukan dalam beberapa daerah di Jawa, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Merti Dusun adalah upacara atau ritual yang bertujuan untuk merayakan dan menghormati roh atau dewa-dewi penjaga dusun atau desa, serta untuk memohon berkah, keselamatan, dan keberkahan bagi masyarakat yang tinggal di dusun tersebut.

Beberapa elemen yang umumnya terkait dengan tradisi Merti Dusun meliputi:

Tradisi Merti Dusun menggambarkan pentingnya keterhubungan antara masyarakat dengan alam, roh, dan kehidupan spiritual dalam budaya Jawa. Meskipun tradisi ini mungkin memiliki varian dan variasi tertentu di berbagai wilayah, prinsip utama penghormatan kepada roh penjaga dan dewa-dewi pelindung tetap menjadi inti dari tradisi ini.


Kirab Apem

Pemerintah Kalurahan Pleret mengadakan Kirab Apem dalam rangka Grebeg Ruwah dan Hari Jadi Kalurahan Pleret pada Ahad (19/03) bertempat di Balai Kalurahan Pleret sebagai puncak acara tradisi sadranan di 11 padukuhan se-kalurahan pleret.

Tradisi sadranan merupakan suatu tradisi untuk membersihkan makam leluhur dan ziarah kubur dengan prosesi penyampaian doa kepada leluhur yang sudah mendahului dan kenduri. Dilaksanakan warga setempat berujud aneka makanan dalam tenong dan nasi tumpeng menjadi tradisi rutin dilaksanakan setiap tahun pada pertengahan Bulan Ruwah (penanggalan Jawa) atau menjelang datangnya bulan Ramadhan atau yang sering dikenal dengan tradisi Nyadran atau sadranan yang masih terjaga dan terus berlangsung hingga sekarang di wilayah Kalurahan Pleret.

Bagi masyarakat Kalurahan Pleret, tradisi ini memiliki kedudukan yang penting layaknya lebaran, warga perantauan menyempatkan pulang kampung ketika tradisi  ini digelar untuk melakukan tradisi Nyadran. Tradisi ini diawali pada pagi hari dengan berziarah kubur ke makam leluhur dan sebagian padukuhan masih ada yang membawa tenong (penyimpan makanan) dari anyaman bambu. Seusai berdoa, dilanjutkan makan bersama, dan setiap orang dipersilakan untuk mengambil makanan yang tersedia di tenong. Setelahnya, warga bersama-sama melakukan doa di masjid padukuhan masing-masing, dan kadang diisi dengan pengajian umum oleh kyai/ustadz dengan materi tentang birul walidain.

“Acara Nyadran ditiap padukuhan sudah ada sejak zaman dulu, dan perlu dilestarikan sebagai kekayaan budaya di wilayah kalurahan pleret, sehingga perlu dibuatkan suatu even kegiatan bersama sebagai puncak acara nyadran yang diadakan rutin setiap hari ahad terakhir di bulan ruwah menjelang ramadhan,” ungkap Lurah Pleret, Taufiq Kamal, S.Kom., M.Cs., saat ditemui dikantornya, pada Senin (20/3). Diterangkan, mulai tahun ini Pemerintah Kalurahan Pleret menyatukan tradisi sadranan dengan membuat acara Kirab Gunungan Apem bersamaan dengan peringatan Hari Jadi Kalurahan Pleret ke-75, yang diikuti oleh 22 RW di 11 pasukan se-Kalurahan Pleret dengan nama Grebeg Ruwah. Acara akan diawali dengan arak-arakan Penunggang Kuda yang dinaiki oleh Lurah, Ketua Bamuskal, Kapolsek, Danramil dan Tokoh Agama sebanyak 5 Kuda, 3 andong yang dinaiki oleh pejabat kapanewon dan mantan pamong kalurahan yang sudah purna, serta diikuti oleh rombongan pasukan bregodo kirab inti dari pamong/lembaga desa, serta 22 bregodo dan gunungan apem dari warga masyarakat Kalurahan Pleret.

Sedangkan ketua panitia juga selaku Kamituwa Kalurahan Pleret Bapak Anang Jatmiko menerangkan bahwa Gunungan apem yang berjumlah 22 buah dikirabkan dan pada puncak acara akan diperebutkan oleh warga masyarakat yang hadir menonton acara kirab. dengan  gunungan hasil bumi dan makanan khas Apem, serta utamanya doa bersama Kalurahan Pleret senantiasa menjadi daerah yang makmur, adil dan sejahtera,” ungkapnya.

Sementara itu Evie Nur Siti Fatonah, S.Sos.M.M. Panewu Kapanewon Pleret, sesaat setelah turun dari andong pada tim media yang meliput mengatakan bahwa, walaupun kegiatan kirab grebeg ruwah tersebut baru pertama kali diadakan di kalurahan Pleret, namun antusiasme dan penerimaan masyarakat cukup bagus serta yang sangat membanggakan dimana masyarakat secara swadaya dalam pengadaan uborampe pendukung kesenian dan juga makanan berupa gunungan yang ikut dikirabkan.

“Kegiatan kirab ini mengingatkan kita pada sejarah kejayaan Mataram. Dan selanjutnya saya ucapkan terima kasih atas kerjasama antara pemerintah Kalurahan Pleret dengan kampus AKN Seni dan Budaya Yogyakarta, dimana para mahasiswanya menampilkan kesenian karawitan dan tari-tarian klasik gaya Yogyakarta yang sangat bagus dan luwes”, ujar Evie.

Selama ini tradisi sadranan berlangsung di 11 Padukuhan se-Kalurahan Pleret sesuai dengan waktu yang disepakati masyarakat di masing-masing dusun atau desa. Sadranan tidak hanya dihadiri oleh warga setempat, tetapi juga warga kalurahan sekitar bahkan warga dari luar kabupaten hadir untuk Nyadran di Pleret.

Wiwitan

Setiap tahun Mbulak Wilkel melaksanakan Tradisi Wiwitan, Tradisi Wiwitan adalah tradisi atau upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama yang berada di daerah pedesaan, untuk merayakan atau memohon berkah dari dewa-dewi pertanian sebelum panen dilakukan. Tradisi ini memiliki tujuan untuk memohon keberkahan, kesuburan, dan hasil panen yang melimpah dari para dewa yang dianggap sebagai pelindung pertanian. Tradisi Wiwitan menjelang panen padi ini mencerminkan kedalaman spiritualitas dan keterhubungan masyarakat dengan alam serta lingkungannya. Meskipun tradisi ini lebih sering dijumpai di wilayah Jawa, namun setiap daerah memiliki varian dan variasi sendiri dalam pelaksanaan tradisi ini. Tradisi ini juga telah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu, namun tetap menjadi bagian penting dari budaya dan warisan lokal di Indonesia. 

Nyadran

Hampir di seluruh dusun di Kalurahan Pleret masih menyelenggarakan upacara nyadran. Salah satu potret upacara tersebut di Dusun Tambalan.

Tradisi "Sadranan" merupakan bagian dari budaya Jawa, khususnya masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur di Indonesia. Tradisi ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari persiapan menjelang perayaan Idul Fitri, yang merupakan hari raya besar umat Islam setelah sebulan berpuasa pada bulan Ramadan.

Sadranan adalah ritual atau tradisi pembersihan diri yang melibatkan berbagai jenis tumbuhan, seperti daun, bunga, dan ramuan tradisional. Tradisi ini memiliki tujuan untuk membersihkan diri secara fisik dan spiritual, menghilangkan energi negatif, serta mempersiapkan diri menjelang Idul Fitri dengan hati yang suci dan murni.

Proses sadranan umumnya dilakukan bersama-sama oleh anggota masyarakat setempat, terutama oleh wanita. Para peserta tradisi biasanya berkumpul di suatu tempat terbuka, seperti sungai atau lahan kosong, dan melakukan ritual pembersihan diri dengan menggunakan tumbuhan-tumbuhan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Mereka akan mencuci diri, menggosok tubuh dengan daun-daunan tertentu, dan menggunakan ramuan tradisional untuk membersihkan kulit.

Selain aspek pembersihan diri, tradisi Sadranan juga memiliki nilai sosial dan budaya yang penting. Ini adalah kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga, tetangga, dan teman-teman, serta menjalin kebersamaan dalam proses persiapan merayakan Idul Fitri. Tradisi ini juga dapat menjadi peluang untuk mengenang dan memperkuat nilai-nilai budaya dan tradisi leluhur.

Namun, perlu dicatat bahwa praktik dan detail tradisi Sadranan dapat bervariasi di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setiap komunitas bisa memiliki variasi dalam tumbuhan yang digunakan, cara pelaksanaan, dan makna yang terkait dengan tradisi ini.

Muludan

Muludan menjadi acara peringatan kelahiran Nabi dengan membawa makanan untuk didoakan bersama di masjid.

Maulid atau mauludan adalah perayaan yang merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ini adalah tradisi yang banyak dilakukan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Tradisi maulidan ini memiliki variasi dalam pelaksanaannya tergantung pada budaya, lokasi geografis, dan keyakinan masing-masing komunitas Muslim.

Beberapa ciri umum dari tradisi maulidan termasuk:

Meskipun tradisi maulidan memiliki nilai keagamaan dan budaya yang kuat bagi banyak umat Islam, ada variasi pandangan dalam hal ini. Beberapa ulama dan cendekiawan Islam mendukung perayaan maulid sebagai cara untuk memperkuat iman dan pengetahuan umat, sementara yang lain menganggapnya sebagai bid'ah (inovasi agama) karena tidak ada catatan langsung dari Nabi Muhammad SAW tentang perayaan ulang tahunnya. Pendekatan terhadap maulidan dapat bervariasi di berbagai komunitas dan mazhab di seluruh dunia.


Kirab Mustaka

Kirab mustaka atau kirab kubah adalah salah satu tradisi kirab yang ditemui dalam masyarakat Muslim di Jawa. Kirab ini dilakukan dengan mengarak mustaka/kubah masjid keliling desa sebelum dipasang. Kirab biasanya dilengkapi dengan sambutan, pidato, makan-makan dan hiburan musik hadrah atau drumben. Acara ini dilangsungkan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada masyarakat yang telah menyumbang untuk pembangunan masjid 

Kirab mustaka pernah terselenggara di Pleret dalam pembangunan kembali Masjid Al Maab Bedukan dan Musholla di Taman Senjata Ngelo.


Ragam/jenis upacara tradisi daur hidup yang masih dilakukan warga 

Mapati

Upacara Ngupati adalah (Mapati) ialah upacara yang diselenggarakan pada saat kehamilan telah berusia empat bulan. Pada saat kandungan berusia empat bulan (seratus dua puluh hari) roh mulai dimasukan ke dalam tubuh calon bayi. Oleh karena itu melalui upacara Ngupati ini memohon agar roh yang masuk ke dalam si bayi adalah roh yang baik. Upacara Ngupati berupa selamatan kenduri. Kenduri biasanya diselenggarakan di rumah orang tua pihak istri atau tempat tinggal pasangan suami istri tersebut. Perlengkapan selmatan kenduri berupa sesaji yaitu: tumpeng nasi megono, jajan pasar, bubur abang putih, dan kupat sumpel. Kata "ngupat" berasal dari kata papat (4) atau kupat. 

Ada yang berbeda dari upacara adat hamil lainnya yaitu ada sajian kupat pada kenduri ngupati, kupat diikutsertakan di besek yang dibawa pulang para undangan yang hadir hadir. Ngupat sebenarnya menjadi pralambang kalau jabang bayi sudah masuk tahap ke papat (empat) dalam proses penciptaan menungsa. Upacara adat ngupat harus diselenggarakan pada hari yang baik menurut perhitungan Jawa. Sesaji dalam upacara ngupati terdiri dari: tumpeng nasi megono, jajan pasar, bubur abang putih, dan kupat sumpel. 

Menurut kepercayaan, upacara Mapati ini adalah untuk memohon kepada Tuhan supaya bayi yang dikandung calon Ibu bisa selamat. Begitupun juga dengan Ibu yang melahirkannya. 

Mitoni

Tradisi "mitoni" adalah sebuah upacara tradisional Jawa yang dilakukan untuk merayakan kehamilan seorang wanita yang sudah memasuki usia kehamilan tujuh bulan. Upacara mitoni merupakan salah satu dari berbagai macam upacara yang dilakukan dalam budaya Jawa untuk menghormati momen penting dalam kehidupan seseorang. 

Tujuan dari tradisi mitoni adalah untuk memberikan perlindungan spiritual kepada calon ibu dan bayi yang ada di dalam kandungan serta untuk memastikan kelancaran proses kehamilan dan persalinan. Selain itu, tradisi ini juga menjadi momen kebersamaan dan mempererat hubungan antara keluarga dan kerabat yang terlibat dalam acara tersebut. Penting untuk diingat bahwa interpretasi dan pelaksanaan tradisi ini dapat bervariasi tergantung pada lokasi geografis, keluarga, dan keyakinan agama yang berbeda.

Brokohan

Brokohan adalah sebuah istilah dalam budaya Jawa yang mengacu pada sebuah tradisi di mana sekelompok orang berkumpul untuk makan bersama dalam sebuah acara yang biasanya merujuk pada kegiatan makan bersama yang diadakan oleh keluarga yang baru saja memiliki bayi baru lahir. Tradisi ini juga bisa disebut sebagai "Selametan Brokohan" atau "Selamatan Brokohan."

Pada umumnya, tradisi brokohan dilakukan dalam rangka merayakan kelahiran anak baru dalam keluarga. Ini bisa menjadi bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan atas kelahiran anak yang sehat dan juga untuk membagikan kebahagiaan dengan teman, keluarga, dan tetangga. Tradisi ini juga memiliki makna sosial dan budaya yang dalam, karena menghubungkan komunitas dan memperkuat hubungan antara orang-orang yang terlibat.

Dalam tradisi brokohan, makanan yang disajikan biasanya adalah hidangan tradisional Jawa atau hidangan khas daerah tertentu. Makanan-makanan ini disiapkan dengan jumlah yang banyak dan diberikan kepada para tamu yang hadir. Acara ini juga bisa melibatkan beberapa ritual atau doa sebagai bagian dari perayaan.

Meskipun tradisi brokohan memiliki akar budaya Jawa yang kuat, praktik semacam ini juga dapat ditemukan dalam budaya-budaya lain di Indonesia dan di berbagai komunitas di seluruh dunia. Ini menunjukkan betapa pentingnya momen kelahiran anak dalam banyak budaya, serta bagaimana makan bersama dapat menjadi cara yang kuat untuk merayakan dan berbagi kebahagiaan.

Jenang Lemu

Makanan ini umumnya disajikan dalam acara-acara tradisional seperti Menyambut Kelahiran Anak, perayaan hari besar, upacara adat, dan sering kali dihidangkan saat momen-momen istimewa. Jenang Lemu juga bisa dianggap sebagai hidangan yang memberikan kehangatan, khususnya di daerah yang memiliki iklim yang cenderung dingin.

Selapanan

Masyarakat Jawa mempunyai berbagai macam selamatan. Salah satunya adalah selapanan. Selapanan berasal dari bahasa Jawa yang berarti 35 hari. Jadi, selapanan adalah ritual yang dilakukan pada bayi yang sudah menginjak usia 35 hari. Tradisi Selapanan merupakan pengingat bahwa sang anak sudah bertambah umur, yang berarti bahwa si anak mengalami suatu perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan batin atau mental. Anak yang mendekati hari kelahirannya, mengalami perubahan fisik berupa peningkatan suhu badan, gelisah, dan sering menangis.

Acara selamatan ini dilakukan saat sang bayi berusia 35 hari atau selapan. Perhitungan ini dihitung berdasarkan kalendar Jawa, sehingga masyarakat Jawa menghitung hari dalam hitungan minggu sebanyak tujuh hari (Senin – Minggu) dan hitungan pasaran dimana satu pasaran berjumlah lima hari (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi). Perhitungan selapan berasal dari perkalian antara tujuh dan lima yang menghasilkan 35 hari. Pada hari ke 35 ini didapatkan pertemuan angka kelipatan antara tujuh dan lima. Pada hari ini juga, hari weton si bayi akan berulang. Sebagai contoh, bila sang bayi lahir pada Kamis Pahing, maka selapanannya akan jatuh tepat pada hari Kamis Pahing pula.

Sebelum acara Selapanan dilakukan, pada sore hari warga bersama-sama bergotong royong membuat tumpeng yang berisi makanan (bancakan) untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kerabat dan anak-anak kecil di Lingkungan rumah. Bancaan ini dibuat dengan harapan agar bayi nantinya bisa berguna, bermanfaat, dan membahagiakan masyarakat sekitar. Dalam bancaan ada menu makanan wajib yang harus ada yaitu nasi putih dan gudangan atau urap yang terdiri dari berbagai sayuran yang diberi bumbu parutan kelapa.

Nantinya nasi putih dan urap ini akan ditempatkan dalam wadah yang disebut pincuk yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk seperti mangkok. Sementara itu dalam bancaan menu tambahan yang biasa ditambahkan yaitu telur rebus atau telur pindang. Telur banyak dipilih sebagai menu lauk pelengkap bancaan Selapanan karena dianggap mewakili asal mula kehidupan.

Upacara selapanan ini sendiri merupakan bentuk rasa syukur atas berkat dan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada sang bayi dan juga ibunya. Pada acara ini, sang bayi akan dicukur rambutnya dan juga dipotong kukunya. Berdasarkan aturan yang terdapat dalam primbon Jawa, ada beberapa hal yang perlu dipatuhi dalam pelaksanaan selapanan. Salah satunya adalah keyakinan bahwa rambut dan kuku bayi yang telah dipotong harus disimpan bersama dengan tali pusar serta kotoran kelelawar, yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.

Windri Hartika dkk. dalam makalahnya yang berjudul Makna Tradisi Selapanan pada Masyarakat Jawa di Desa Gedung Agung menemukan bahwa tradisi Selapanan adalah bagian dari warisan budaya leluhur yang harus terus dijaga kelestariannya. Mereka takut bahwa jika generasi penerusnya tidak menjaga bahkan tidak melaksanakan tradisi ini, masyarakat Jawa akan kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudi luhur.

Tradisi Selapanan merupakan cerminan bahwa manusia hendaknya memiliki hubungan erat yang harmonis dengan lingkungan masyarakat dan alam sekitar. Melalui peringatan Selapanan, orang tua memperkenalkan bayinya kepada para tetangga, dan para tetangga menerima si bayi sebagai bagian dari masyarakatnya.

"Melalui tradisi ini, orang tua juga berharap bahwa kelak anaknya akan menjadi pribadi yang senang bersosialisasi. Masyarakat Jawa saat ini adalah masyarakat yang selalu memadukan kegiatan adat dan keagamaan, acara peringatan kelahiran bayi seperti Selapanan bertujuan untuk bersedekah, agar para tetangga ikut merasakan kegembiraan orang tua atas kelahiran putra-putrinya," tulis Windri dkk. dalam makalahnya.

Bancakan Weton

Sebagian warga Pleret masih melanjutkan tradisi bancakan pada hari kelahirannya. Dengan berbagi makanan yang berisikan nasi gudangan serta lauk. 

Bancakan Weton adalah sebuah tradisi dalam budaya Jawa di Indonesia yang berkaitan dengan perhitungan hari dalam penanggalan Jawa atau weton. Dalam penanggalan Jawa, setiap orang memiliki weton sendiri, yang merupakan kombinasi antara hari dalam pekan (minggu) dan hari dalam bulan (pasaran). Weton ini diyakini memiliki pengaruh terhadap sifat dan nasib seseorang.

Tradisi Bancakan Weton melibatkan perayaan atau acara dalam rangka memperingati hari kelahiran seseorang berdasarkan wetonnya. Dalam perayaan ini, keluarga dan teman-teman biasanya berkumpul untuk merayakan bersama. Beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan dalam acara Bancakan Weton antara lain:

Bancakan Weton adalah salah satu cara yang dianggap penting dalam budaya Jawa untuk memelihara hubungan sosial dan memperingati momen penting dalam kehidupan seseorang. Meskipun tradisi ini memiliki akar dalam kepercayaan adat Jawa, pada saat yang sama, banyak orang juga menggabungkannya dengan elemen-elemen agama dan kebiasaan modern.

Tedak Siten

Prosesi tedhak siten masih berlangsung pada sebagian warga, seperti pada potret di Dusun Gunungan.

 Tedak Siten adalah sebuah tradisi dalam budaya Jawa, terutama di Indonesia, yang berkaitan dengan pemberian nama kepada seorang bayi yang baru lahir. Tradisi ini memiliki makna dan tujuan yang kental dengan unsur spiritual dan sosial dalam budaya Jawa. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai tradisi Tedak Siten:

Setiap keluarga atau komunitas dapat memiliki variasi sendiri dalam pelaksanaan tradisi Tedak Siten. Meskipun ada beberapa unsur yang serupa, aspek-aspek tertentu dari tradisi ini bisa bervariasi tergantung pada keyakinan agama, budaya regional, dan nilai-nilai keluarga yang berbeda-beda.

Supitan

Sistem upacara daur hidup juga merupakan bagian dari sistem religi masyarakat Jawa.  Upacara daur hidup dalam masyarakat jawa mengalami pekembangan dan perubahan-perubahan subtansi dan fungsi. Hal ini disebabkan perubahan pandangan dan keyakinan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Supitan merupakan salah satu upacara daur hidup untuk anak laki-laki, biasanya dilakukan oleh anak laki-laki di bawah usia 16 tahun. Supitan dikenal juga dengan nama Sunatan, Tetakan dan Khitanan. Supitan dimaksudkan untuk menghilangkan sesuker atau kotoran yang ada dalam tubuh. Supitan dapat dimaknai sebagai upacara peralihan bagi anak laki-laki menuju tingkatan kehidupan yang baru, yakni peralihan seorang anak laki-laki ke masa dewasa, sehingga upacara Supitan dilakukan ketika anak berusia 10-16 tahun atau sebelum anak menginjak usia dewasa. Tradisi Supitan memiliki perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaannya sesuai dengan kearifan lokal daerah masing-masing. Berikut merupakan salah satu rangkaian kegiatan Upacara Supitan:

Kumbakarnan

Acara rapat bersama untuk membahas persiapan pesta pernikahan di Jawa sering disebut Kumbokarnan. Acara ini biasanya dilakukan dua minggu atau minimal satu minggu menjelang acara pernikahan dilangsungkan.

Semangat gotong royong tercemin dalam acara kumbokarnan.

Dari para remaja hingga yang tua saling berbagi tugas untuk mengemban tanggung jawab dalam rangka mensukseskan jalannya pesta pernikahan.

Sebelum menyelenggarakan rapat besar Kumbokarnan, biasanya pihak keluarga yang akan menyelenggarakan sebuah hajat akan mengadakan rapat kecil terlebih dahulu.

Rapat kecil ini dihadiri oleh anggota keluarga, Ketua RT atau RW, dan beberapa sesepuh di wilayah tersebut.

Acara rapat kecil ini bertujuan untuk menentukan rancangan jalannya acara pernikahan serta menentukan siapa saja yang cocok untuk mengemban tugas di setiap posisi.

Pasang Tarub/Bleketepe

Pasang tarub adalah salah satu prosesi pernikahan yang harus dipersiapkan beberapa hari sebelum pernikahan diselenggarakan. Dikutip dari Jurnal Teknologi Busana Dan Boga Universitas Negeri Semarang dengan judul Tarub Dan Perlengkapannya Sarat Dengan Makna Dan Filosofi karya Endang Setyaningsih, tarub dapat diartikan sebagai akronim dalam bahasa Jawa 'ditata supaya murup' yang berarti diatur atau ditata agar bersinar.

Pada zaman dulu, tarub dibuat secara gotong royong oleh tetangga dan sanak saudara pengantin yang dibuat dari bambu wulung sebagai tiang dan anyaman daun kelapa hijau untuk atapnya. Tarub dari masa ke masa mengalami perkembangan dengan aneka bentuk dan variasi dari asal bahan.

Sebagian besar tarub sudah diganti dengan tenda, akan tetapi budaya memasang tarub dan tuwuhan (hasil bumi) serta penggunaan bleketepe pada pintu masuk area pernikahan masih dipertahankan masyarakat Jawa hingga sekarang.

Pada zaman dulu, pemasangan tarub dilakukan tiga hari sebelum hajatan dimulai, namun di masa sekarang pemasangan tarub sudah menyesuaikan waktu dan kesempatan keluarga mempelai.

Tujuan Prosesi Pasang Tarub

Pasang tarub bertujuan untuk menyimbolkan harapan-harapan keluarga kedua mempelai demi kelancaran dan keselamatan masa depan keluarga pengantin. Selain itu, pasang tarub juga bertujuan untuk menghias rumah atau tempat tersebut supaya indah dan terlihat megah.

Hiasan tersebut juga bertujuan untuk memeriahkan prosesi pernikahan yang dianggap sebagai perayaan kedua mempelai sebagai raja dan ratu dalam satu hari. Tarub dengan segala kelengkapannya juga memberikan makna filosofis rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tanda isyarat kepada tetangga serta sanak saudara bahwa di rumah tersebut akan diadakan pernikahan.

Makna Bleketepe dan Tuwuhan

Dikutip dari buku Kejawen Jurnal Kebudayaan (2006) oleh Mulyana dkk, hiasan utama dari tarub terdiri dari bleketepe yang dibuat dari bleketepe/janur kuning dan tuwuhan (daun-daunan/tumbuhan). Tuwuhan dalam tarub terdiri dari beberapa jenis tanaman yang masing-masing mempunyai makna sebagai lambang dari harapan kedua mempelai.

Adapun makna masing-masing tumbuhan tersebut yaitu:

1. Daun Beringin

Daun beringin melambangkan harapan agar kedua mempelai panjang umur dan mampu menjadi tempat berlindung bagi keluarganya.

2. Pohon Tebu

Pohon tebu melambangkan kemantapan tekad kedua mempelai untuk membina rumah tangga dan siap menjadi contoh teladan bagi anak-anaknya.

3. Pisang Raja

Setandan pisang raja melambangkan kedua mempelai menjadi raja sehari dan semoga mampu mewujudkan keluarga yang penuh dengan kebahagiaan dan kemuliaan.

4. Daun Kluwih

Daun kluwih melambangkan agar kedua mempelai mendapatkan kemuliaan dan wawasan luas yang meningkatkan taraf hidup keluarga mereka. Luwis berarti lebih.

5. Daun Alang-Alang

Daun alang-alang melambangkan harapan agar dalam menjalankan kehidupan berumah tangga tidak mendapatkan rintangan atau halangan apapun.

6. Padi

Padi satu ikatan melambangkan harapan semoga rezeki kedua mempelai berkecukupan atau berlebih.

7. Cengkir Gadhing

Cengkir gadhing berasal dari bahasa Jawa kencenge piker yang melambangkan kebulatan tekad kedua mempelai untuk bersatu mengarungi bahtera rumah tangga dengan segala resikonya.

8. Bleketepe/Janur Kuning

Janur kuning mempunyai makna "Sejane ning Nur" yang berarti arah menggapai cahaya Ilahi. Janur kuning melambangkan harapan semoga kedua mempelai dalam menjalani hidup berumah tangga selalu mendapatkan petunjuk Yang Maha Kuasa.

Midodareni

Apa Itu Tradisi Midodareni?

Tradisi midodareni adalah rangkaian upacara pernikahan dalam adat Jawa yang dilakukan pada malam hari, sehari sebelum acara panggih atau temu pengantin. Malam midodareni juga dengan sebutan malam 'pangarip-arip' yang menjadi malam terakhir masa lajang bagi kedua mempelai. Adapun asal kata midodareni berasal dari bahasa Jawa yaitu ‘widodari’ yang berarti bidadari. Dikutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Provinsi DI Yogyakarta, menurut kepercayaan masyarakat Jawa, pada malam tersebut banyak bidadari yang turun dari kayangan. Para bidadari datang untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin wanita, sehingga wajah sang mempelai akan terlihat cantik seperti bidadari. Hal ini membuat calon mempelai wanita harus terus berada di dalam kamar, atau dikenal dengan istilah dipingit. Mitos ini tak lepas dari cerita tentang Legenda Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Dalam cerita tersebut, Nawangwulan yang merupakan dewi dari kayangan turun untuk menyambangi sang anak, Nawangsih yang hendak menikah. 

Perlengkapan Tradisi Midodareni 

Dalam pelaksanaan midodareni, terdapat uba rampe atau perlengkapan yang perlu dipersiapkan. Beberapa hal yang dipersiapkan seperti sepasang kembar mayang, dua buah mayang, dua buah kelapa muda (gading), sepasang kendi berisi air yang berasal dari 7 sumber mata air, nasi gurih beserta lauk pauk, sepasang ingkung ayam, rujak degan, kopi, teh tanpa gula, juplak, roti tawar, dan gula jawa setangkep. Sementara di kamar pengantin akan diberi sesaji berupa mayang jambe, tujuh macam kain bermotif letek, dan suruh ayu. 

Susunan Acara Midodareni

Dilansir dari laman Gramedia, tradisi midodareni terdiri dari serangkaian acara yang dilakukan dalam satu malam. Berikut adalah susunan acara midodareni dalam adat Jawa. 

1. Jonggolan 

Jonggolan merupakan acara pertama dalam acara midodareni, yang juga dikenal dengan istilah seserahan. Prosesi ini dilakukan setelah keluarga calon mempelai laki-laki hadir dan disambut oleh keluarga calon mempelai wanita. Hal ini juga memiliki maksud untuk menunjukkan bahwa calon pengantin pria berada dalam keadaan sehat dan memiliki hati yang mantap menikah. Calon pengantin laki-laki juga yang datang bersama dengan perwakilan keluarga besar akan menyerahkan berbagai seserahan dalam bentuk bingkisan. Seserahan ini berisi berbagai barang keperluan sehari-hari, mulai dari yang diberikan dalam jumlah ganjil. Seserahan ini nantinya akan diserahkan oleh wakil dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan untuk kemudian disimpan dalam kamar pengantin. 

2. Tantingan 

Setelah Jonggolan selesai, maka akan dilakukan proses Tantingan. Calon pengantin laki-laki yang telah datang dan meminta restu, kemudian akan mendapat jawaban dari pihak perempuan. Pihak perempuan akan menentukan akan menerima atau menolak ‘kemantapan’ dari hati calon pengantin pria. Karena pada malam midodareni calon pengantin wanita tidak diperbolehkan keluar karena berada dalam masa pingitan, maka kedua orang tua akan mendatangi dan menanyakan kembali kemantapan hatinya. Setelahnya, pihak pengantin perempuan akan mengungkap keikhlasan terkait keputusannya dan menyerahkan sepenuhnya kepada kedua orang tua. 

3. Kembar Mayang 

Kembar Mayang adalah dekorasi dengan tinggi hampir serupa tinggi badan manusia. Dalam pernikahan adat Jawa, Kembar Mayang akan dibawa oleh wanita dan pria, yang kemudian akan mendampingi sepasang cengkir gading yang dibawa oleh sepasang gadis. Sesuai kepercayaan, Kembar Mayang dipinjam dari dewa, sehingga jika sudah selesai akan dilabuh melalui air atau dikembalikan lagi ke bumi. Kembar Mayang yang diberikan terdiri dari dua jenis yaitu Kalpandaru dan Dewandaru. Dewandaru berarti wahyu pengayoman, dengan makna agar pengantin pria dapat memberikan pengayoman secara lahir dan batin kepada keluarganya. Sedangkan Kalpandaru berarti wahyu kelanggengan agar kehidupan rumah tangganya kemudian dapat abadi selamanya. 

4. Catur Wedha 

Catur Wedha adalah nasihat atau wejangan yang disampaikan ayah dari calon pengantin perempuan kepada calon pengantin laki-laki. Isi dari wejangan ini terdiri dari empat macam pedoman hidup berumah tangga yaitu: Hangayomi adalah nasihat agar pengantin pria mengayomi dan melindungi istrinya dengan sepenuh hati seperti ketika orang tua pengantin wanita yang melindungi anaknya tanpa pamrih. Handayani adalah nasihat agar pengantin pria untuk mencukupi segala kebutuhan istrinya. Hangayemi adalah nasihat agar pengantin pria agar memberikan kenyamanan yang kemudian dapat membuat pasangan memiliki rasa cinta yang tiada habisnya. Hanganthi adalah nasihat agar pengantin pria agar bisa menjadi pemimpin bagi keluarganya. 

5. Wilujeng Majemukan 

Terakhir, akan dilakukan Wilujeng Majemukan atau proses silaturahmi antara kedua keluarga. Selain itu dalam tahapan ini, diserahkan pula semua seserahan yang telah dibawa oleh calon pengantin pria. Kemudian, keluarga calon pengantin perempuan juga akan menyerahkan angsul-angsul. Bagi calon pengantin pria, salah satunya akan diserahkan sebuah pusaka atau keris sebagai simbol harapan untuk menjadi pelindung bagi keluarganya kelak. 

Upacara Pernikahan

Upacara pernikahan adalah ritual atau serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pasangan yang akan menikah untuk mengikatkan diri secara sah dan resmi sebagai suami istri. Upacara ini dapat bervariasi berdasarkan budaya, agama, dan tradisi masing-masing.

Meskipun detailnya dapat berbeda-beda, beberapa unsur umum dalam upacara pernikahan meliputi:

Panggih

Salah satu pelaksanaan prosesi panggih yang dilakukan warga Kedaton, Pleret.

Tradisi "Panggih" adalah salah satu upacara atau adat istiadat yang berasal dari budaya Jawa, Indonesia. Panggih adalah prosesi pertemuan antara pengantin pria dan pengantin wanita yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada kedua mempelai untuk saling berhadapan, saling berbicara, dan berjanji untuk menjalani hidup bersama sebagai pasangan suami istri.

Biasanya, upacara Panggih dilakukan setelah berlangsungnya serangkaian upacara pernikahan tradisional Jawa lainnya, seperti Siraman, Midodareni, dan Akad Nikah. Panggih sendiri dapat diartikan sebagai "bertemu" atau "berjumpa".

Dalam upacara Panggih, pengantin pria dan pengantin wanita akan duduk berhadapan dalam posisi yang saling menghadap. Mereka akan diberikan kesempatan untuk saling berbicara dan menukar kata-kata penghormatan serta janji untuk menjaga dan menghormati satu sama lain dalam kehidupan pernikahan. Upacara ini melambangkan awal dari perjalanan hidup bersama sebagai pasangan yang akan saling mendukung, mengasihi, dan menghormati.

Panggih adalah salah satu momen penting dalam pernikahan tradisional Jawa, dan biasanya dihadiri oleh keluarga, kerabat, dan tamu undangan. Selain itu, adat istiadat yang dilakukan dalam Panggih juga dapat berbeda-beda tergantung pada budaya dan tradisi yang ada di masing-masing daerah di Jawa.

Meskipun adat istiadat pernikahan telah mengalami perubahan seiring waktu, upacara Panggih masih dihormati dan dilakukan sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia.

Sumsuman

Bagi orang Jawa, acara pernikahan adalah sesuatu yang harus disambut dengan bahagia dan penuh syukur. Dengan segala filosofisnya, ternyata mengakhiri rangkaian upacara pernikahan itu ada caranya sendiri. Salah satunya adalah dengan mengadakan acara kumpul bersama sambil menyantap makanan yang disebut dengan tradisi Sumsuman. Makanannya pun nggak sembarangan, ada satu makanan khusus yang harus disajikan.

Mungkin belum banyak yang paham soal tradisi Sumsuman yang dilaksanakan sejak dahulu. Bahkan kebanyakan sudah tidak melakukannya lagi. Tapi nggak ada salahnya buat tahu tentang acara ini sekaligus mengenal makna dalam dibalik tradisinya. 

Setelah upacara pernikahan berlangsung, biasanya pengantin akan mengundang orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk melakukan pertemuan. Mirip pesta, tapi yang ini unik dan beda. Pasalnya, acara ini dilangsungkan sekaligus untuk membubarkan panitia pernikahan yang sebelumnya pernah dibentuk.

Selain untuk membubarkan panitia, acara itu juga bermaksud untuk melakukan evaluasi. Pengantin serta orang tuanya biasanya juga berterimakasih atas bantuan mereka. Lalu, jika ada kesalahan, mereka bisa saling meminta maaf. Diharapkan acara pernikahan benar-benar selesai dengan bahagia. 

Nama Sumsuman sendiri dikarenakan dalam acara itu ada menu wajib yang harus ada yaitu jenang sumsum. Jenang atau bubur sumsum ini terbuat dari tepung beras yang dimasak dengan santan serta tambahan lainnya. Rasanya gurih, teksturnya lembek. Biasanya disajikan dengan juruh alias kuah dari gula jawa yang manis. 

Pangruktilaya Jenazah

Prosesi dari perawatan jenazah hingga upacara pemberangkatan sebelum disemayamkan di pemakaman.

Sur Tanah

Sur Tanah adalah pembuatan liang makam dengan menggusur makam yang telah lama 

Bedhah Bumi

Prosesi pertama untuk membuat liang lahat pemakaman jenazah, dimulai dari mbah kaum yang memanjatkan doa dan menentukan posisi liang lahat

Tahlilan Kematian

Tahlilan adalah salah satu tradisi keagamaan dalam agama Islam yang biasanya dilakukan setelah seseorang meninggal dunia. Tradisi tahlilan dilakukan dengan maksud untuk mendoakan dan mengingat orang yang telah meninggal serta merayakan kehidupan setelah kematian.

Tahlilan 7 hari setelah kematian adalah salah satu bentuk tradisi yang lazim dilakukan di beberapa masyarakat Muslim. Tujuannya adalah untuk mengenang almarhum dalam periode awal setelah kematian. Tradisi ini umumnya melibatkan keluarga, teman, dan tetangga almarhum yang berkumpul bersama di rumah atau di masjid untuk membaca Al-Quran, berdoa, dan mengenang sosok almarhum.

Dalam beberapa budaya atau masyarakat, tahlilan dilakukan selama tujuh malam berturut-turut setelah kematian. Setiap malam biasanya diisi dengan membaca ayat-ayat Al-Quran, berdoa, dan mungkin juga dilanjutkan dengan menyajikan makanan atau minuman kepada para tamu sebagai bentuk kegiatan sosial dan solidaritas dalam mengenang almarhum.

Namun, penting untuk diingat bahwa tahlilan 7 hari atau tradisi serupa tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam yang berasal dari Al-Quran atau Hadis. Tradisi ini lebih bersifat budaya dan regional, dan pelaksanaannya bisa bervariasi di berbagai komunitas Muslim di seluruh dunia. Beberapa ulama mungkin menganggap tahlilan ini sebagai amalan bid'ah (inovasi agama) jika dianggap sebagai ritual yang wajib dilakukan.

Sebagai prinsip umum, dalam Islam, doa dan peringatan untuk orang yang telah meninggal adalah dianjurkan. Namun, lebih penting lagi untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam yang didasarkan pada sumber-sumber yang jelas, seperti Al-Quran dan Hadis, dan menghindari praktek-praktek yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran tersebut. Jika Anda ingin melanjutkan tradisi tahlilan atau amalan lainnya setelah kematian seseorang, akan baik jika Anda berkonsultasi dengan ulama atau pemimpin agama lokal untuk memastikan bahwa praktek yang Anda lakukan sesuai dengan ajaran Islam yang benar.

Brobosan

Brobosan merupakan tradisi masyarakat Jawa ketika ada kerabat atau keluarga meninggal dunia yang dilakukan dengan berjalan di bawah keranda atau peti jenazah sebelum jasad dimakamkan 

Ngijing (Pasang Kijing)

Ngijing berasal dari kata kijing (nisan), sedangkan ngijing berarti pemasangan kijing (nisan). Tradisi Ngijing pada upacara Selamatan Nyewu merupakan tradisi turun temurun yang diwariskan leluhur yang dilaksanakan di pemakaman setempat. Tradisi ngijing pada dasarnya adalah untuk menandai lokasi pemakaman anggota keluarga yang meninggal terlebih dahulu dengan kijingan yang bentuknya juga beraneka ragam. Tradisi ini dilakukan tepat 1000 hari kematian almarhum ( Nyewu),dalam istilah bahasa jawanya. 

Ketersediaan lembaga / organisasi pendukung kegiatan upacara adat

Yayasan Warisan Budaya Mataram Pleret (YWBMP)

Acara kirab budaya tersebut merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan oleh Yayasan Warisan Budaya Mataram Pleret (YWBMP) dalam rangka Gelar Budaya Mataram Pleret VII. Adapun tujuannya untuk melestarikan kebudayaan Mataram Islam yang pernah berkembang di Pleret.

Hadir Bupati Bantul Drs. H. Suharsono, perwakilan Bidang Pengembangan Kapasitas Dinas Pariwisata DIY, Kepala Dinas Kebudayaan Bantul Nugroho Eko Setyanto S.Sos MM, Camat Pleret Mujahid Amrudin SIP, Lurah Desa se Kecamatan Pleret dan Pembina Yayasan Warisan Budaya Mataram Pleret Ir. Nurdi Antoro beserta pengurus YWBMP.

Pada gelaran tersebut ribuan warga tampak antusias menyaksikan kirab yang menceritakan perpindahan Keraton Mataram Kerto ke Keraton Mataram Pleret yang terjadi pada pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, yakni Sultan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645 Masehi.

Prosesi kirab ditandai dengan pemukulan gong secara simbolis oleh Bupati Bantul Drs. H. Suharsono, yang selanjutnya rangkaian kirab diberangkatkan dari halaman Balai Desa Pleret menuju Lapangan Sultan Agung Pleret yang berjarak sekitar 1 kilometer.

Adapun rangkaian kirab tersebut terdiri dari parogo inti, Pemerintah Kecamatan dan Pemdes se Kecamatan Pleret dan warga masyarakat serta pelajar.

Sementara itu dalam sambutannya, Bupati Bantul Drs. H. Suharsono mengatakan, acara kirab Bedhol Projo mengajak masyarakat untuk mengingat kembali sejarah Keraton Mataram Kerto yang kemudian pindah ke Keraton Mataram Pleret.

Menurutnya, kegiatan ini sekaligus untuk melestarikan nilai-nilai Mataram Islam dan tentunya melestarikan budaya yang ada di dalamnya.

Pada kesempatan itu, Bupati Bantul juga mengingatkan kepada generasi muda untuk melestarikan bahasa Jawa dan unggah-ungguh yang saat ini semakin luntur.

Sambutan dari Pembina YWBMP Ir. Nurdi Antoro menyampaikan, kegiatan ini merupakan upaya dalam melestarikan kebudayaan tradisi serta mengembangkan budaya peninggalan Keraton Mataram Pleret.

Selain itu, untuk mengenalkan kepada masyarakat, khususnya generasi muda agar dapat mengetahui serta tidak melupakan tentang sejarah keberadaan Keraton Mataram Pleret.

Harapannya pula warga masyarakat beserta Pemerintah Desa dan Pemerintah Kabupaten bisa bersinergi dalam melestarikan warisan budaya ini, sehingga bisa menjadi daya tarik wisata budaya yang ada di Pleret.