POTENSI

PENATAAN RUANG DAN BANGUNAN SERTA WARISAN BUDAYA

Keberadaan Potensi Bangunan, Situs Warisan Budaya atau Petilasan 

Benteng Sisi Selatan Keraton Pleret

Tim peneliti Dinas Kebudayaan DIY menemukan bagian dasar tembok timur Keraton Pleret di Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, DIY. Temuan itu sangat menarik karena menunjukkan struktur dasar dan pondasi benteng yang aslinya setinggi 5 hingga 6 meter itu. Temuan itu juga memperlihatkan secara tegas tata ruang Keraton Pleret, sekaligus arah posisi bangunan secara keseluruhan. Keraton yang dibangun Susuhunan Amangkurat I berbentuk belah ketupat dengan posisi membujur ke arah timur laut 10 derajat dari poros utara-selatan.


Temuan diperoleh di sejumlah pit atau kotak ekskavasi di Dusun Kedaton, Desa Pleret. Letak kotak ekskavasi berada di sebelah timur jalan Pleret-Segoroyoso. Di lokasi ekskavasi, saat dikunjungi sudah tidak terlihat ada proses penggalian dan penelitian dari instansi terkait seperti Disbud DIY, Balai Arkeologi Yogyakarta dam BPCB DIY. Dari struktur yang sudah terlihat di kotak ekskavasi, fakta-fakta yang bisa diinformasikan adalah, struktur dasar benteng atau tembok keraton berupa susunan bata merah berukuran 35x18 cm. Susunan bata besar tebal sekitar 5 cm itu beralaskan lapisan pasir dan tanah. Tidak terlihat tumpukan boulder, krakal, kerikil di sekitar pondasi atau di bawahnya. Bata besar itu disusun sangat rapi menggunakan teknik kosot atau digosokkan bata atas dan bawahnya hingga lengket atau menyatu.


Susunan bata ada di lapis luar dan sisi dalam. Lebar pondasi benteng itu sekitar 2,6 meter. Kedalaman dari permukaan tanah sekarang lebih kurang 1,5 meter. Bentuk isian dalam ruangan tembok benteng keraton, terlihat campuran batu putih, remukan bata merah, tanah dan pasir urugan. Batas tanah asli dengan permukaan tanah ketika pondasi dan benteng dibangun terlihat dari lapisan tatal bata merah atau serpihan-serpihan bata merah sisa proyek pada masa lalu. Tanah asli tampak homogen berwarna hitam dan dibawahnya ada lapisan pasir. Di beberapa kotak ekskavasi yang dibuat sejajar sesuai arah benteng, penampakannya sama. Tembok barat keraton letaknya di sebelah barat Museum Pleret. Sisi selatan di bekas jalur lori yang memisahkan Dusun Pungkuran dengan Kedaton. Sedangkan tembok sisi timur membujur dari belakang SMPN 2 Pleret ke selatan arah Dusun Pungkuran. Pojok benteng diduga ada di tenggara sekolah ini. 


https://pleret.id/artikel/2021/5/2/benteng-sisi-selatan-keraton-pleret

Makam Roro Inten atau Sarinten Kedaton

Asal usul dari makam Roro Inten yang berada di Kedaton Pleret bahwa Saparinten adalah putri Pakubuwono 2. Pada saat itu Pakubuwono 2 dekat dengan penjajah Belanda. Rencananya Saparinten akan dinikahkan dengan orang Belanda. Saparinten diberi tahu orangtuanya dan menolak dan tidak mau menikah, kemudian melarikan diri sampai Manado dan tinggal disana sampai akhir hayat. Keluarga Saparinten berusaha mencari keluarga Saparinten yang berada di Manado. Setelah dilacak dan ketemu makam di manado, kemudian direncanakan dipindah makamnya ke Jakarta. Setelah tanah makam Saparinten diambil, dan dibuatkan tempat semacam peti kecil dan dibawa ke Jakarta. Kemudian terjadi kebakaran di tempat rumah penyimpanan peti tanah makam tersebut dan menyisakan peti penyimpan tanah sarinten nya saja. Kemudian keluarga mencari "orangtua" (den Pawiro), kemudian atas saran dari Den Pawiro Sarinten agar dimakamkan di Pleret. Dan Akhirnya Sarinten dimakamkan di kedaton Pleret.


https://pleret.id/artikel/2021/5/2/makam-roro-inten-atau-sarinten-kedaton

Makam Kyai Trayem

Kyai Trayem adalah nama tokoh di masa Amangkurat 1. Pada masa Amangkurat 1, Kyai Trayem menduduki jabatan sebagai kepala bidang perpajakan kraton. Berasal dari itu, maka daerah tempat tinggal Kyai Trayem menjadi nama dusun atau toponim Trayeman. Makam Kyai trayem berada di kompleks masjid Baiturachman, Trayeman, Pleret. Sampai sekarang makam ini masih sering dikunjungi oleh peziarah. 


https://pleret.id/artikel/2021/5/2/makam-kyai-trayem

Situs Makam Ratu Malang

Makam Ratu Mas Malang, Makam Gunung Kelir, atau Makam Antakapura (bahasa Kawi: "istana kematian" atau "istana tempat menguburkan jenazah") adalah situs cagar budaya peninggalan dari Amangkurat I atau Amangkurat Agung yang terletak di Pedukuhan Gunung Kelir, Kelurahan Pleret, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan berada di puncak bukit Gunung Sentana, dengan ketinggian + 99 meter di atas permukaan laut. Keberadaan kompleks makam tersebut berkaitan erat dengan tokoh yang dimakamkan di tempat ini, yaitu Ratu Mas Malang dan Ki Panjang Mas atau Ki Dalem. Mas Malang adalah putri dari Ki Wayah, seorang dalang wayang gedog, serta salah satu selir Amangkurat I. Sebelum menjadi selir, dia adalah istri dari dalang Panjang, salah satu dalang terkenal di daerah Kesultanan Mataram. Makam ini dibangun selama kurang lebih tiga tahun, yaitu sejak Mas Malang meninggal tahun 1665 hingga selesai pada 11 Juni 1668. Adapun konstruksi bangunannya berasal dari dari balok-balok batu putih untuk dindingnya dan batu andesit untuk nisannya. Secara keseluruhan, kondisi fisik kompleks permakaman ini sudah rusak, terutama disebabkan oleh faktor alam.

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/situs-makam-ratu-malang-1

Situs Kerto

Keberadaan Keraton Kerto muncul pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613¬1646 M) berdasarkan informasi yang didapatkan dari Babad Momana dan Babad ing Sangkala. Pada Babad Momana disebutkan bahwa pembangunan Keraton Kerto dilakukan pada tahun 1617 M. Pendapat lain juga menunjukkan adanya bukti pembangunan keraton didukung dengan adanya cerita yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1617-1618 M terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang pajang kepada Mataram. Kemudian Sultan Agung memerintahkan para pemberontak membuat batubata untuk persiapan proyek pembangunan yang cukup besar (Yudodiprojo, 1994: 27).

Berdasarkan Babad Momana diceritakan bahwa pembangunan Keraton Kerto dilakukan secara bertahap. Pada tahun 1618 Sultan Agung telah bertempat tinggal di Keraton Kerto. Namun, ibu suri masih bertempat tinggal di Kotagede. Ibu suri kemudian bertempat tinggal di Keraton Kerto pada tahun 1621 M bersamaan dengan pindahnya para pangeran yang mendiami kediaman pangeran (Graaf, 1986: 109). Pada tahun 1625-1626 terjadi perluasan keraton dengan membangun bangunan Siti Hinggil (Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007).

Selain itu, dalam Babad Momana diceritakan pula proses kehancuran Keraton Kerto setelah wafatnya Sultan Agung. Pada tahun 1589 J (1667 M) terjadi kebakaran di Prabayeksa, tidak diketahui penyebab kebakaran dan kehancuran Keraton Kerto setelahnya. Pada abad ke-18, terdapat informasi yang m enyebutkan bahwa Keraton Kerto dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Mataram tandingan oleh Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar yang bertujuan untuk merebut tahta kerajaan yang diduduki oleh Sultan Amangkurat IV (Nurhadi dan Armeni, 1976: 2 dalam Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007). Nama kerto kemudian dirubah menjadi “Kertosekar” atau “Kertosari” untuk membedakan penamaan keraton pada masa Sultan Agung dan Keraton Kartasura (Moedjanto, 2002: 96).

Namun aksi militer ini gagal. Setelah itu, tidak ditemukan Kembali informasi tentang penghunian dan penggunaan Keraton Kerto. Berdasarkan informasi yang telah diketahui dari berbagai sumber yang telah dijelaskan di atas, Keraton Kerto mulai dibangun dan dihuni sekitar tahun 1617 M sampai dengan sekitar tahun 1700-an M (Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007).

Berdasarkan Laporan Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto tahun 2007 disebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan proses transformasi deposisi Siti Hinggil Keraton Kerto antara lain disebabkan oleh proses budaya dan proses alam. Minimnya data arkeologis yang menunjukkan eksistensi Situs Kerto berdasarkan proses budaya disebabkan oleh pelapukan atau kerusakan bangunan berbahan kayu, pengambilan bahan baku Keraton Kerto untuk pembangunan Keraton Pleret yang baru, kerusakan yang disebabkan oleh serangan dari pasukan mataram yang menghancurkan kelompok Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar, kerusakan yang mungkin disebabkan oleh serangan Trunojoyo ke Pleret, batubata bekas Keraton Kerto digunakan untuk pembangunan pabrik gula di Plered, dan Kerusakan yang disebabkan oleh aktifitas masyarakat sekitar dalam pembuatan semen merah serta memperjual belikan batubata bekas keraton. Selain itu, kerusakan yang disebabkan oleh proses alam antara lain erosi dan gempa bumi.

Proses transformasi pasca deposisi Siti Hinggil Keraton Kerto antara lain disebabkan oleh aktifitas pengurugan untuk ladang dan aktifitas penambangan tanah untuk industri batubata (Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007). Kegiatan penelitian Situs Kerto dimulai pada tahun 1976 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta berupa survei. Kegiatan survei tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan survei lanjutan pada tahun 1978 yang merupakan survei dan ekskavasi gabungan antara Proyek Penelitian dan Peninggalan Purbakala DIY, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta, Museum Sana Budaya Yogyakarta, Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala Prambanan, Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Bagian Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM (Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007) dan setelah itu dilanjutkan Kembali penelitian lanjutan berupa ekskavasi, penyelamatan, dan pendokumentasian pada tahun 2007.

Berdasarkan tinggalan arkeologis yang masih ditemukan di Situs Kerto diindikasikan bahwa bangunan inti yang ada di dalam kompleks Situs Kerto merupakan bangunan pendapa. Hal ini didukung dengan adanya temuan 4 buah umpak saka guru dengan ukuran permukaan 70 x 70 cm, ukuran alas umpak 85 x 85 cm, dan tinggi 67 cm. Saat ini, umpak yang berada di Situs Kerto tersisa 2 umpak, 1 umpak dibawa ke Taman Sari yang kemudian di letakkan di Masjid Saka Tunggal, sedangkan 1 umpak lainnya belum diketahui keberadannya. Selain umpak Saka Guru, besar kemungkinan bahwa umpak-umpak penyangga bangunan lainnya sudah dipindahkan dari lokasi asalnya. Ukuran umpak yang cukup besar sangat sesuai dengan ukuran umpak pada bangunan Siti Hinggil pada umumnya. 

Struktur yang ditemukan selama proses ekskavasi diindikasikan merupakan struktur dinding penguat tanah di dalam pondasi bangunan, struktur dinding batur bangunan inti dan bangunan pendukung, struktur dinding talud bangunan inti, struktur dinding pondasi tangga naik bangunan inti. Selain temuan bangunan inti dan pendukung, ditemukan pula struktur dinding benteng keliling komplek dan pelataran halaman kompleks berupa struktur talud pelataran halaman komplek, struktur dinding penguat tanah pondasi pelataran halaman komplek, dan struktur trap tangga pintu gerbang komplek.

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/situs-kerto

Situs Kedaton 1

Keraton Pleret memiliki belah ketupat dengan luasnya 2.256 m2, hal ini berdasarkan laporan Van Goens (Graaf, 1987:11). Pada tanggal 16 Oktober 1668, Abraham Verspreet mengunjungi istana Pleret dengan melewati jembatan di atas parit yang mengelilingi istana dan setelah itu barulah ia tiba di alun-alun. Suasana ini menunjukkan bahwa pembangunan Keraton Pleret menyerupai pulau yang dikelilingi oleh air. Pada masa pemerintahan Sultan Agung pembangunan Bendungan Pleret telah dimulai dan berlanjut hingga masa pemerintahan Amangkurat I (Graaf, 1987: 15). Bendungan dan danau berfungsi sebagai sarana hiburan bagi sunan dan perlindungan keraton dari ancaman banjir. Bendungan tersebut kemungkinan besar merupakan sumber air yang dialirkan melalui parit atau kanal ke dalam keraton sekaligus untuk mengendalikan debit airnya. Air dari parit di dalam keraton dibuang melalui Sungai


Gajahwong (Lap. Kegiatan Ekskavasi Arkeologi Situs Masjid Kauman dan Situs Kedaton, 2017).

Setelah itu juga disebutkan beberapa komponen lain di dalam Keraton Pleret seperti Siti Hinggil, Bangsal Witana, Mandungan, Sri Manganti, Pecaosan, Sumur Gemuling, Masjid Panepen, Prabayesa, Bangsal Kencana, Bangsal Kemuning, Bangsal Manis, Gedung Kuning, dan tempat tinggal abdi dalem Kedhondhong (Adrisijanti, 2000: 76). Babad Momana juga mencatat salah satu bangunan yang bernama Gedhong Sundawa yang belum diketahui fungsinya. Komponen-komponen Keraton Pleret tersebut dibangun secara bertahap.

Berdasarkan data dari Serat Momana disebutkan tahun pendirian beberapa Bangunan Kadipaten (1571J/1649 M), Prabayeksa (1572J/1650 M), Segarayasa (1574J/1652 M). keterangan lain yang diperoleh adalah Pembangunan Siti Hinggil bagian bawah dengan batu (1572J/1650 M), pembangunan Witana atau Anjungan di Siti Hinggil (1574), permulaan pembangunan Laradenan atau Kediaman Putra Mahkota (1576J/1654 M), dan pembangunan bangsal di Srimanganti (1585J/1663 M) (Graaf, 1987: 13 dalam Lap. Kegiatan Ekskavasi Arkeologi Situs Masjid Kauman dan Situs Kedaton, 2017 dan Laporan Hasil Ekskavasi KWB Plered, 2019).

Dalam Babad Momana diceritakan bahwa kehancuran Keraton Pleret disebabkan oleh serangan Trunojoyo dan menyebabkan kekalahan Susuhunan Amangkurat I. Oleh karena itu, Susuhunan Amangkurat I dikenal pula dengan sebutan Tegalwangi (Laporan Hasil Ekskavasi KWB Plered, 2019).

Saat ini tinggalan di Keraton Pleret hanya berupa toponim Kedaton, sedangkan mengenai komponen bangunan Keraton Pleret di permukaan tanah sudah tidak tersisa. Rusaknya Keraton Pleret ini disebabkan bebrapa faktor antara lain adanya serbuan Trunojoyo, lokasi pertahanan pada masa perang Diponegoro pada tahun 1826, penggunaan bata Keraton Pleret untuk membangun pabrik gula pada masa kolonial Belanda serta pembuatan semen merah oleh penduduk setempat pasca Kemerdekaan RI.

Keraton Pleret memiliki belah ketupat dengan luasnya 2.256 m2, hal ini berdasarkan laporan Van Goens (Graaf, 1987:11). Pada tanggal 16 Oktober 1668, Abraham Verspreet mengunjungi istana Pleret dengan melewati jembatan di atas parit yang mengelilingi istana dan setelah itu barulah ia tiba di alun-alun. Suasana ini menunjukkan bahwa pembangunan Keraton Pleret menyerupai pulau yang dikelilingi oleh air. Pada masa pemerintahan Sultan Agung pembangunan Bendungan Pleret telah dimulai dan berlanjut hingga masa pemerintahan Amangkurat I (Graaf, 1987: 15). Bendungan dan danau berfungsi sebagai sarana hiburan bagi sunan dan perlindungan keraton dari ancaman banjir. Bendungan tersebut kemungkinan besar merupakan sumber air yang dialirkan melalui parit atau kanal ke dalam keraton sekaligus untuk mengendalikan debit airnya. Air dari parit di dalam keraton dibuang melalui Sungai


Gajahwong (Lap. Kegiatan Ekskavasi Arkeologi Situs Masjid Kauman dan Situs Kedaton, 2017).

Setelah itu juga disebutkan beberapa komponen lain di dalam Keraton Pleret seperti Siti Hinggil, Bangsal Witana, Mandungan, Sri Manganti, Pecaosan, Sumur Gemuling, Masjid Panepen, Prabayesa, Bangsal Kencana, Bangsal Kemuning, Bangsal Manis, Gedung Kuning, dan tempat tinggal abdi dalem Kedhondhong (Adrisijanti, 2000: 76). Babad Momana juga mencatat salah satu bangunan yang bernama Gedhong Sundawa yang belum diketahui fungsinya. Komponen-komponen Keraton Pleret tersebut dibangun secara bertahap.

Berdasarkan data dari Serat Momana disebutkan tahun pendirian beberapa Bangunan Kadipaten (1571J/1649 M), Prabayeksa (1572J/1650 M), Segarayasa (1574J/1652 M). keterangan lain yang diperoleh adalah Pembangunan Siti Hinggil bagian bawah dengan batu (1572J/1650 M), pembangunan Witana atau Anjungan di Siti Hinggil (1574), permulaan pembangunan Laradenan atau Kediaman Putra Mahkota (1576J/1654 M), dan pembangunan bangsal di Srimanganti (1585J/1663 M) (Graaf, 1987: 13 dalam Lap. Kegiatan Ekskavasi Arkeologi Situs Masjid Kauman dan Situs Kedaton, 2017 dan Laporan Hasil Ekskavasi KWB Plered, 2019).

Dalam Babad Momana diceritakan bahwa kehancuran Keraton Pleret disebabkan oleh serangan Trunojoyo dan menyebabkan kekalahan Susuhunan Amangkurat I. Oleh karena itu, Susuhunan Amangkurat I dikenal pula dengan sebutan Tegalwangi (Laporan Hasil Ekskavasi KWB Plered, 2019).

Saat ini tinggalan di Keraton Pleret hanya berupa toponim Kedaton, sedangkan mengenai komponen bangunan Keraton Pleret di permukaan tanah sudah tidak tersisa. Rusaknya Keraton Pleret ini disebabkan bebrapa faktor antara lain adanya serbuan Trunojoyo, lokasi pertahanan pada masa perang Diponegoro pada tahun 1826, penggunaan bata Keraton Pleret untuk membangun pabrik gula pada masa kolonial Belanda serta pembuatan semen merah oleh penduduk setempat pasca Kemerdekaan RI.

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/situs-kedaton-1

Situs Kedaton 2

Latar belakang sejarah Situs Kedaton 2 erat kaitannya dengan latar belakang sejarah Situs Kedaton 1 karena keduanya merupakan bagian dari Keraton Pleret. Situs Kedaton 2 merupakan tinggalan arkeologi berupa struktur resapan air (Nayati, 1982). Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 diketahui bahwa struktur bata di Situs Kedaton 2 merupakan saluran irigasi/saluran air dari arah timur dan kemudian dibuang ke arah barat (Laporan Hasil Ekskavasi KWB Plered, 2019).

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/situs-kedaton-2

Situs Kedaton 3

Penelitian yang dilakukan oleh Widyanayati (1982) diketahui bahwa bentuk keraton pleret tidak persegi panjang melainkan bentuk trapezium pembuatan benteng disesuaikan karena pembuatan keraton disesuaikan dengan topografi wilayah pleret. Hasil analisis foto udara menunjukkan bahwa sudut-sudut benteng pleret masih terlihat jelas di lapangan. Selain itu, terdapat temuan di sudut barat daya yang diindikasikan sebagai salah satu tinggalan benteng pleret berupa temuan bata berukuran Panjang 32 cm, Lebar 20 cm dan Tinggi 7 cm (26), struktur tersebut diindikasikan sebagai benteng sisi barat Keraton Pleret.

Informasi tentang benteng pleret dapat diketahui berdasarkan sumber sejarah yang menceritakan bahwa pada tanggal 16 Oktober 1668, Abraham Verspreet mengunjungi istana Pleret dengan melewati jembatan di atas parit yang mengelilingi istana dan setelah itu barulah ia tiba di alun-alun. Suasana ini menunjukkan bahwa pembangunan Keraton Pleret menyerupai pulau yang dikelilingi oleh air. Pada masa pemerintahan Sultan Agung pembangunan Bendungan Pleret telah dimulai dan berlanjut hingga masa pemerintahan Amangkurat I (Graaf, 1987: 15). Bendungan dan danau berfungsi sebagai sarana hiburan bagi sunan dan perlindungan keraton dari ancaman banjir. Bendungan tersebut kemungkinan besar merupakan sumber air yang dialirkan melalui parit atau kanal ke dalam keraton sekaligus untuk mengendalikan debit airnya. Air dari parit di dalam keraton dibuang melalui Sungai Gajahwong (Lap. Kegiatan Ekskavasi Arkeologi Situs Masjid Kauman dan Situs Kedaton, 2017).

Van Goen juga menggambarkan bahwa Kraton Pleret dilindungi oleh tembok keliling dengan dua pintu gerbang. Pintu tersebut satu terletak di utara dan yang satu terletak di sebelah selatan. Tinggi tembok keliling tersebut tidak kurang dari 18-20 kaki, tebalnya paling sedikit 12 kaki. Bentuk dalem (kraton) disebut tidak benar-benar persegi melainkan belah ketupat. Catatan lain menyebutkan bahwa Dagh-register pada 13 November 1659 menggambarkan tinggi benteng kraton adalah 5 depa dan tebalnya 2 depa kemudian ditambahkan lagi tembok (benteng) yang serupa dengan suatu perisai di atasnya setinggi dada (Laporan Hasil Ekskavasi KWB Pleret, 2019).

 


Informasin tentang Keraton Pleret juga dijelaskan oleh G.P Rouffaers yang berkunjung tahun 1889 dengan membuat sketsa kraton berdasarkan sisa-sisa runtuhan yang masih dapat dilihat. Sketsa tersebut berjudul Karta and Pleret dengan skala 1:10.000. Ia menulis bahwa tembok keliling kraton yang saat itu telah rata dengan tanah dahulu setinggi 5 sampai 6 meter dan tebalnya 1 1/2m. Tembok tersebut dibuat dengan bahan bata dan disisipi batu alam, dengan batu putih pada bagian atas (Laporan Hasil Ekskavasi KWB Pleret, 2019)..

Louw tahun 1897 dalam Laporan Hasil Ekskavasi KWB Pleret tahun 2019 membuat peta Kraton Pleret yang memuat informasi bahwa jalur tembok keliling (benteng) kelihatan jelas sepanjang 640 m dari sudut barat daya (dalam Adrisijanti, 2000:68; Laporan Hasil Ekskavasi KWB Pleret, 2019). Dari sisa-sisanya, benteng Kraton Pleret dapat digambarkan sebagai berikut.

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/situs-kedaton-3

Sumur Gemuling

Situs Sumur Gemuling merupakan salah satu saluran air yang terdapat di dalam pagar keliling Keraton Pleret. Berdasarkan Peta sketsa Petilasan Keraton Pleret disebutkan bahwa terdapat parit-parit yang terdapat di lingkungan dalam dan luar tembok keliling meliputi Situs Sumur Gemuling, sekeliling bagian inti keraton, dan bangunan berdenah persegi empat di dekat sudut tenggara tembok keliling. Kedua bagian jaringan parit tersebut bertemu di sebelah barat bagian depan keraton, dan mempunyai dua saluran pembuangan yaitu ke Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak. Berdasarkan Babad ing sagkala disebutkan bahwa bangunan air terakhir yang dibangun pada masa Pleret yaitu bendungan winanga pata tahun 1589 AJ (Juli 1666-Juni 1667 M) (Adrisijanti, 2000: 88). Di bagian timur Situs Sumur Gemuling terdapat Masjid Panepen (Adrisijanti, 2000: 92).

Sumur Gemuling merupakan tempat membersihkan pusaka keraton dan dianggap sebagai tempat yang keramat dan sumur tersebut dipugar oleh masyarakat sekitar (Nayati, 1982: 30). Saat ini, Situs Sumur Gemuling berada di dalam kompleks Museum Sejarah Purbakala Pleret

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/sumur-gumuling

Situs Makam Ratu (P) Labuhan

Di sebelah barat Situs Pleret terdapat makam Kanjeng Ratu Labuhan. Gusti Kanjeng Ratu Labuhan (Kanjeng Ratu Wetan) merupakan permaisuri Sunan Amangkurat I. Ia adalah putri Panembahan Radin dari Pajang. GKR Labuhan meninggal sewaktu pemberontakan Trunojoyo tahun 1677, yang menghancurkan Kraton Pleret. Ia kemudian dimakamkan di belakang Masjid Kauman Pleret. Setelah keadaan aman, jasad GKR Labuhan diputer atau dipindah ke Komplek Makam Imogiri. GKR Labuhan inilah yang nantinya menurunkan raja-raja di Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. 

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/makam-ratu-labuhan

Masjid Taqorrub Kanggotan

Masjid Sulthanain Taqorrub adalah sebuah masjid yang terletak di RT 07, Dusun Kanggotan, Pleret, Bantul. Masjid tersebut telah ada sejak keraton Mataram berada di Pleret dan masih tetap dilestarikan setelah pindahnya keraton Mataram ke Pleret. Pendirian masjid tersebut tak pernah diketahui, tetapi ada catatan tertua yang menyebutkan bahwa bangunan tersebut dipugar pada tahun 1901 M pada masa pemerintahan Patih Danurejo VI dan berkali-kali dirombak hingga dalam bentuk saat ini. Meskipun demikian, sokoguru (tiang utama), kubah, dan mustaka masih dibiarkan dalam bentuk asli. Di bagian utara masjid, terdapat tempat peristirahatan.

Di dekat masjid tersebut, terdapat pemakaman Cepakasari yang juga dipakai untuk memakamkan sejumlah keluarga besar Kesultanan Yogyakarta, yang meliputi Patih Danurejo VI (Pangeran Cokroningrat), B.R.A. Retnomandoyo (ratu permaisuri Sultan Hamengkubuwono VII), Ki Ageng Suryomentaraman dan istrinya, serta Raden Tumenggung Nitinegoro I dan II (Bupati Bantul).

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/masjid-taqarrub-kanggotan

Situs Masjid Kauman Pleret atau Ngeksigodo

Situs Masjid Kauman Pleret secara administratif berada di Dusun Kauman, Kelurahan Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara astronomis terletak pada 070 51’ 53,7’’ Lintang Selatan - 1100 24’ 20,4’’ Bujur Timur dan berada pada ketinggian 57 mdpl (meter di atas permukaan laut). Lingkungan fisik Situs Masjid Kauman Pleret meliputi dataran rendah pada bentang lahan dataran fluvio gunung api yang diapit oleh dua buah sungai, yaitu Sungai Gajahwong di sebelah barat dan Sungai Opak di sebelah timur.

Mengacu pada Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 74 Tahun 2008, Kawasan Cagar Budaya Pleret merupakan salah satu kawasan cagar budaya kategori kelas C di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.[1] Adapun penelitian di Kawasan Cagar


Budaya Pleret ini sudah memasuki hampir tiga dekade, yaitu diawali pada tahun 1976 hingga tahun 2017.

Situs Masjid Kauman Pleret merupakan salah satu situs yang berada di Kawasan Cagar Budaya Pleret, yang dahulu menjadi ibu kota ketiga dari Kesultanan Mataram setelah Kotagede dan Kerto. Di Kawasan Cagar Budaya Pleret dijumpai situs-situs masa Mataram Islam yang beragam serta data toponim seperti Situs Kedaton, Situs Sumur Gumuling, Makam Gunung Kelir, dan Situs Kerta (Lemah Dhuwur).[3]

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta maupun Dinas Kebudayaan D.I Yogyakarta, Masjid Pleret merupakan masjid yang besar pada zamannya. Masjid ini berukuran 40 x 40 meter. Ruang utama masjid ini diperkirakan ditopang oleh empat soko guru dan beberapa tiang penyangga atau perimeter. Saat ini umpak yang masih ditemukan secara in situ (belum berpindah tempat) berjumlah 22 buah. Masjid dibangun dengan bahan bata dan batu putih dengan teknik pengerjaan tanpa spesi atau teknik kosod.(Wikipedia)

Saat ini kondisi fisik Cagar Budaya Masjid Agung Kauman Pleret menyisakan reruntuhan masjid berupa mihrab, beberapa umpak berbentuk bulat yang terbuat dari batu andesit, pagar masjid di sebelah utara dan beberapa struktur masjid yang terdiri dari batu dan bata.

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/situs-masjid-kauman-pleret-atau-ngeksigodo


Museum Purbakala Pleret

Museum Sejarah Purbakala Pleret adalah salah satu museum yang berada di Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul. Museum Sejarah Purbakala Pleret yang berada di Dusun Kedaton ini menyimpan benda cagar budaya yang sebelumnya ditemukan di sekitar Kabupaten Bantul. Terdapat sekitar 50 an benda benda peninggalan sejarah masa lampau mulai dari arca, stupa, dan lain lain.[1]

Lokasi Museum Sejarah Purbakala Pleret memang agak jauh dari Yogyakarta dan tidak banyak diekspose, sehingga dibanding dengan museum museum yang lain, museum ini jarang dikunjungi. Namun demikian selayaknya museum ini mendapat perhatian dari semua karena akan menjadi pelajaran bagi anak cucu untuk mengenal sejarah masa lampau. Koleksi benda yang ada di Museum Sejarah Purbakala Pleret banyak berasal dari Candi Gampingan dan Situs Payak namun juga ada dari beberapa pinjaman museum lain.

Salah satu lokasi di Museum Sejarah Purbakala Pleret yang menarik perhatian adalah adanya sebuah sumur berwarna merah muda di mana oleh warga sekitar disebut dengan Sumur Gumuling. Konon apabila kita menggunakan air sumur ini, buat yang belum punya jodoh bisa cepat dapat jodoh.

Untuk mencapai Museum Sejarah Purbakala Pleret, anda bisa melewati Jalan Imogiri Timur keselatan sampai perempatan Wonokromo belok ke timur/kiri terus kira kira 1 KM menuju Museum Sejarah Purbakala Pleret.

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/museum-purbakala-pleret


Situs Makam Kyai Kategan

Dalam peta tata kekaratonan mataram Islam pada zamannya, Kyai Kategan adalah ulama yang dilambangkan dengan gajah (liman). Itu berarti sang linambang tersebut merupakan ulama yang ikut dalam penataan kebijaksanaan melalui jalur pengajaran ilmu pengetahuan dan seturutnya untuk orang banyak.

Maklumat ini mengantarkan pemahaman penting pada kenyataan bahwa Kyai Kategan adalah seorang penghulu yang diminta langsung oleh Sinuwun Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sekedar kabar tambahan, selain “gajah”, ada pula lambang “kyai ageng” lainnya di jawa, yaitu lebah (bramara) dan biawak/buaya/bajul (sarira). Mudah-mudahan lain kali tajuk ini akan kita perkalamkan.

eistimewaan Kyai Kategan ada di situ. Ia menjadi sosok keramat dalam kerja penyusunan-ulang peradaban (cakra manggilingan) yang dikrida-laksanakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sebagai seorang pemegang tampuk kendali berjeneng (bernama-ruh) “Hanyakrakusuma”, Sultan Agung memang tertakdirkan untuk memulakan pemanunggalan tata-hidup beralas peradaban bulan (candra) dan peradaban matahari (surya) yang sebelumnya masih terpisah.

Jeneng “hanyakrakusuma” itu sendiri sebelumnya hanya ditakdirkan untuk Sunan Bonang, yang digelari “Ratu Wahdat” alias sang pengampu perkara ke-muhammad-an (wahdatul muhammadiyah). Dengan demikian, gerak-gerik kebijakan Sultan Agung mewarisi kewajiban pembumian perkara ke-muhammad-an dari Sunan Bonang.

Hingga kini, polesan peradaban baru yang bersumber dari tangan Sultan Agung melestari dalam banyak hal. Satu di antaranya adalah ilmu matematika-amali (ilmu falak) kawula jawi. Mulai dari babak penghitungan mangsa, pemilihan pekerjaan, perbintangan, tafsir mimpi, hitungan waktu terbaik untuk bepergian, hingga perjodohan. Semua itu, di jawa, merupakan perkara ke-muhammad-an. Menjadi maklum bila nama Kanjeng Nabi saw dan amal salawat kepadanya lantas menyumsum di dalam kebudayaan jawa. Kyai Kategan ada di pusat kerja pembumian ke-muhammad-an itu di tanah Jawa.

Jeneng “Kategan” berasal dari bahasa kawi. “Kategan” berarti: telah meninggalkan keduniaan (wis ninggal kadonyan). Ia juga berarti orang yang tapa (suluk)nya telah menyempurna (kasutapan). Ada satu makna tingkat lanjut dari jeneng “Kategan” ini.

Pasarean atau makam Kyai Kategan ada di kampung-kubur Kenanga Mulya. Terletak di barat Masjid Taqorrub, Kanggotan, Pleret, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Ia berada di dalam sepetak ruang terbuka bersama 4 makam lain. Masjid Taqorrub agaknya merupakan Masjid Kauman atau masjid Karaton pada masa Karaton Kerta di zaman Sultan Agung. Sekira 100 meter ke selatan dari masjid ini, terdapat Situs Kerta yang diperkirakan sebagai Karaton pada masa itu.

Nama Kyai Kategan juga masih hidup dalam cerita tutur masyarakat Yogyakarta. Terutama para sesepuh. Saya pernah menyowani Mbah Jamhari, seorang sepuh berusia lebih 90 tahun yang berumah di Manisrenggo, Klaten. Mbah Jam, begitu biasa ia dipanggil, bercerita perihal Kyai Kategan yang setiap waktu menunaikan salat di Mekah.

Bila Sultan Agung yang mengajaknya untuk salat ke Mekah, maka sebelum sang sultan sampai menginjakkan kaki di tanah suci itu, Kyai Kategan sudah lebih dahulu berada di sana. Begitu sebaliknya. Bila Kyai Kategan yang mengajak, maka sang Sultan pewaris sanad ilmu Sunan Bonang itu telah sampai di sana mendahuluinya.

Kyai Kategan juga tercatat sebagai kawan guyonan Sultan Agung. Dikisahkan dalam cerita tutur warga mataram, yang juga tercatat dalam Babad Nitik Sultan Agung, bahwa suatu ketika Kyai Kategan didawuh untuk datang ke Kraton. Tapi ia enggan. Padahal ia ditugaskan untuk membacakan doa. Setelah beberapa kali dipanggil, ia tetap tidak mau datang. Setelah tiga kali menolak, Sultan Agung memanggilnya lewat utusan khusus.

Singkat cerita, Kyai Kategan akhirnya berkersa untuk merawuh membacakan doa. Tapi ketika doa baru sampai di lafal salawat nabi, satu-satu lauk-pauk yang telah dihidangkan tiba-tiba hidup kembali. Ayam, sapi, kerbau, ikan, semuanya berlompatan di atas meja hidang. Akhirnya acaranya dibatalkan. Sultan Agung, Kyai Kategan, dan para hadirin tertawa terpingkal-pingkal.

https://pleret.id/artikel/2021/5/1/11situs-makam-kyai-kategan


Situs Sendang Maya

Situs yang secara geografis berada di Padukuhan Gunungkelir, Pleret, Bantul, Yogyakarta ini masih dalam kompleks Cagar Budaya Ratu Malang. Situs ini terdiri atas dua buah kolam dan berada di sebelah timur laut makam. Fungsinya sekarang sebagai penampung air hujan. Kolam yang berada di dalam dinding keliling berukuran + 3,5 meter x 5 meter, sedangkan yang berada di luar dinding keliling berukuran + 6 meter x 6 meter. Sendang tersebut dikelilingi dinding batu bata yang sama dengan Makam Ratu Mas Malang, serta memiliki ketinggian + 3 meter dan ketebalan 2,1 meter. Menurut sejarah yang berkembang, bahwa sendang tersebut awalnya akan digunakan oleh Amangkurat I untuk memakamkan Ratu Mas Malang, tetapi tanahnya terus menerus mengeluarkan air ketika digali sehingga akhirnya Amangkurat I memakamkan Ratu Mas Malang di kompleks permakaman yang sama dengan Ki Dalang Panjang.

Lingga Patok

Lingga pathok C.1452 berada di Museum Sejarah Purbakala Pleret yang diperoleh dari BPCB DIY. Lingga pathok ini awalnya ditemukan di Potorono Banguntapan, Bantul. Lingga pathok ini memiliki ukuran panjang 14,5 cmx 14,5 cm dengan tinggi 31 cm serta berbahan batu andesit. Kondisi lingga masih utuh dan terawat dengan baik, hanya terdapat sedikit bagian yang aus.
Lingga merupakan tinggalan arkeologis masa klasik dengan latar belakang agama Hindu. Lingga merupakan simbol maskulin atau juga wujud an-iconic dari Dewa Siwa. Pada dasarnya lingga terdapat 3 bagian yaitu bagian atas berbentuk silindris disebut rudrabhaga, bagian tengan berbentuk segi enam disebut wisnubhaga, dan yang paling bawah berbentuk persegi empat disebut brahmabhaga. Lingga yang melambangkan maskulin memiliki peran terhadap asal mula penciptaan jika bersatu dengan Yoni yang melambangkan feminisme. Jika Yoni merupakan manifestasi dari sakti Dewa Siwa atau yang dikenal dengan Dewi Parwati, maka Lingga merupakan manifestasi dari Dewa Siwa. Lingga juga dapat berdiri sendiri tanpa didampingi Yoni, lingga tersebut dikenal dengan Lingga semu/ lingga pathok. Bentuk Lingga pathok pun berbeda yaitu hanya memiliki bagian segi empat dan silinder, tidak memiliki segi enam atau wisnubahaga. Fungsi lingga pathok ini lebih bersifat profan yaitu digunakan sebagai tanda batas wilayah.

Ompak

Secara administrasi berada di Dusun Kerto. Dua umpak ini berada dalam orientasi utara dan selatan. Jarak satu umpak dengan yang lainnya 30 m.

Kedua umpak memiliki pinggiran miring yang fungsinya diperkirakan untuk mempermudah lewatnya air hujan yang merembes di tiang. Pada setiap umpak terdapat motif hias berbentuk sulur-suluran dari huruf Arab mim, ha, dan dal.  Ketiga huruf ini jika disusun akan membentuk nama Muhammad.

Umpak Kerto saat ini diberi pengaman berupa pagar menggunakan bahan bambu. Umpak ini sudah tercatat dalam inventaris Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY nomor C15 dan C16. Selain diberi pagar pengaman, Umpak C15 diberi landasan berupa struktur bata merah. Sedangkan Umpak C16 masih berada di atas tanah (tanpa landasan). 

Seharusnya pada setiap sudut terdapat antefiks. Namun antefiks – antefiks tersebut telah hilang. Pada bagian tubuh terdapat hiasan sulur – suluran. Terdapat bekas untuk mengasah/mempertajam alat – alat pertanian penduduk setempat.

Randu Alas

Situs kuno bekas lokasi Keraton Pleret di Dusun Kauman, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul juga terdapat dua pohon randu alas raksasa. Lokasi pohon super jumbo ini di selatan situs Masjid Kauman Pleret.

Menurut penelitian Dinas Kebudayaan Daerah Keistimewaan Yogyakarta, dapat dipastikan situs tersebut sebagai lokasi bekas Masjid Agung Keraton Pleret, ketika Susuhunan Amangkurat I bertahta pada 1646-1677 Masehi.

Menurut Muhadi (75), mantan dukuh dan juru pelihara situs Masjid Kauman Pleret, pohon randu alas itu masih hidup subur sampai 2013. Namun sesudah itu salah satu pohon mati akibat tersambar petir.

Situs Keputren

Sedang dalam tahap eksvakasi.

Benteng sisi Barat 

Sedang dalam tahap eksvakasi.

Saluran Air

Tim arkeolog menemukan saluran air (paralon) kuno yang terbuat dari tanah liat yang oleh masyarakat setempat disebut Plempem atau Riul dalam ekskavasi benteng sisi Barat Keraton Pleret Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Kamis (8/3/2023). Tim menemukan 8 plempem tanah liat kuno yang mempunyai panjang setidaknya 62 cm hingga 66 cm dengan diameter 35 cm per riul. 

Tambak Segarawiyasa

Berdasarkan sumber masyarakat setempat.

Batu Andesit

bagian dari struktur bangunan kerjaan era Sultan Agung, sama seperti yang ditemukan di siti hinggil